Hukum di Indonesia juga dipengaruhi oleh politik pembangunan yang bias elit. Paul Bauer menyoroti bahwa pembangunan tanpa keadilan hukum hanya menghasilkan pertumbuhan yang timpang. Data BPS dan Bank Dunia menunjukkan meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5% per tahun, koefisien Gini tetap berada di 0,38, menandakan ketimpangan tinggi.
Kasus Harvey Moeis, yang melibatkan penyelewengan izin pertambangan timah di Bangka Belitung senilai triliunan rupiah, menunjukkan bagaimana hukum kerap digunakan untuk melindungi modal besar dan merugikan rakyat lokal.
Praktik hukum yang berpihak pada modal ini memperlihatkan kegagalan hukum dalam melindungi kemampuan nyata warga untuk hidup bermartabat, sebagaimana ditekankan Amartya Sen dalam teori capability-nya. Petani tergusur dari lahan, masyarakat adat kehilangan akses ke hutan, dan buruh migran bekerja tanpa perlindungan hukum memadai adalah wajah sehari-hari ketidakadilan hukum di Indonesia.
Fran Magnis-Suseno menambahkan dimensi moral: negara hanya sah sejauh ia melindungi martabat manusia. Ketika hukum digunakan untuk menindas, mempermainkan, atau mengeksploitasi warga, negara kehilangan dasar moralnya. Kasus Harvey Moeis menjadi ilustrasi nyata bagaimana hukum dapat dirancang untuk melindungi kepentingan penguasa dan oligarki, sementara prinsip martabat warga diabaikan.
Sementara itu, Michel Foucault menyoroti mekanisme pengawasan dan disiplin dalam hukum modern: tilang elektronik, administrasi kependudukan, hingga razia aparat menciptakan jaring-jaring disiplin yang dapat merampas kebebasan bila tidak diawasi. Fenomena ini memunculkan wajah hukum yang lebih menekan warga kecil daripada mengendalikan mereka yang berkuasa.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait