Ketidakadilan hukum juga menampakkan wajahnya melalui marginalisasi hukum adat. Paul Bohannan menegaskan bahwa hukum modern cenderung memonopoli otoritas, menyingkirkan sistem hukum tradisional yang menjaga keseimbangan sosial. Di Nusa Tenggara Timur, hukum adat selama berabad-abad menjaga harmoni masyarakat, namun kini sering digusur oleh hukum negara yang kaku.
Penyelesaian konflik dalam hukum adat menekankan pemulihan relasi sosial, bukan sekadar hukuman, tetapi praktik modern mengabaikan nilai ini. Werner Menski, dalam teori pluralisme hukum, menyatakan bahwa ketegangan antara hukum negara, hukum adat, dan norma sosial-agama harus dikelola sebagai kekuatan yang memperkaya rasa keadilan. Namun, dominasi hukum negara di Indonesia justru memperdalam ketidakadilan, mengerdilkan pluralitas hukum sebagai ancaman.
Situasi ini juga diperkuat oleh kondisi lembaga penegak hukum. Data Komisi Yudisial tahun 2024 mencatat lebih dari 1.500 laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim. Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, dengan skor 38/100.
ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2024 mencapai Rp48,7 triliun, sementara mayoritas pelaku besar mendapat hukuman ringan dan pelaku kecil dihukum berat. Fenomena ini menggarisbawahi ketidaksetaraan yang sistemik, kontras dengan gagasan John Rawls tentang keadilan sebagai fairness: hukum seharusnya menyetarakan warga negara, bukan memberi keistimewaan bagi yang kuat.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait