Hukum dan lingkungan hidup juga menunjukkan kegagalan substantif. Indonesia menghadapi krisis ekologis: deforestasi, degradasi lahan, pencemaran laut, dan bencana akibat perubahan iklim. Data KLHK 2023 mencatat 3,7 juta hektar hutan rusak akibat aktivitas ilegal, tetapi penegakan hukum lingkungan tetap lemah. Kasus proyek geotermal di Nusa Tenggara Timur menambah dimensi kompleks: izin eksploitasi yang merugikan komunitas lokal, dampak ekologis yang signifikan, dan minimnya perlindungan hukum untuk masyarakat adat menunjukkan hukum sering gagal melindungi kepentingan publik, lebih memihak investor besar.
Lebih jauh, kebebasan sipil terbatasi oleh hukum yang represif. Hannah Arendt menegaskan bahwa kebebasan politik terletak pada ruang publik yang memungkinkan orang berbicara dan berpartisipasi. Di Indonesia, hukum sering dipakai untuk membatasi ruang publik: demonstrasi dikekang, kritik diseret dengan UU ITE, aktivis ditangkap dengan tuduhan subversif. Akibatnya, hukum tidak memperkuat demokrasi, tetapi menciutkan kebebasan, meniadakan ruang deliberasi publik yang seharusnya menjadi fondasi legitimasi hukum menurut Habermas.
Ironi lain muncul dari birokrasi hukum yang lamban. Data BPHN 2023 menunjukkan hanya sekitar 30% masyarakat miskin yang berhasil mendapatkan pendampingan hukum. Di sisi lain, aparat penegak hukum menghadapi kasus yang kompleks dan bernilai ekonomi tinggi, namun kerap ditemukan kasus keterlambatan, maladministrasi, atau konflik kepentingan. Kasus Harvey Moeis mengungkap bagaimana penyidikan panjang, negosiasi hukum, dan mekanisme pengalihan tanggung jawab membuat proses hukum tersendat, sementara rakyat kecil menghadapi penegakan hukum yang cepat dan keras.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan ini memperlihatkan bahwa hukum Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ia lebih sering menjadi instrumen oligarki daripada jaminan keadilan bagi rakyat. Analisis Radbruchian tentang keadilan substantif, etika politik Magnis-Suseno, fairness Rawls, pluralisme Menski, dan teori capability Sen semua menunjukkan bahwa hukum kita belum menjalankan fungsi dasarnya: melindungi yang lemah, membatasi kekuasaan yang kuat, dan memperkuat martabat manusia.
Momentum 80 tahun kemerdekaan adalah kesempatan untuk membayangkan ulang hukum Indonesia. Proses legislasi harus transparan, deliberatif, dan partisipatif, dengan pengawasan kuat untuk mencegah hukum menjadi alat represi.
Hukum harus mengakui pluralisme: memberi ruang pada hukum adat dan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem keadilan nasional. Perlindungan terhadap yang lemah harus konkret, bukan retorika semata. Reformasi hukum harus menyasar kepastian perlindungan bagi masyarakat adat, petani, buruh migran, dan warga miskin, sehingga hukum tidak lagi menjadi instrumen dominasi.
Refleksi ini menuntut keberanian moral dan politik. Hukum tidak boleh berhenti sebagai teks formal; ia harus menjadi sarana keadilan yang nyata bagi seluruh rakyat. Dari kota hingga desa, dari pejabat hingga rakyat jelata, hukum harus hadir sebagai penjaga martabat, bukan alat oligarki. Kemerdekaan yang dirayakan setiap 17 Agustus akan bermakna bila hukum benar-benar melindungi rakyat dan menegakkan keadilan substantif.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka menuntut pertanyaan kritis: apakah rakyat telah merdeka dalam hukum dan keadilan? Jika jawabannya belum, kemerdekaan masih parsial, pincang, dan jauh dari janji yang diucapkan Soekarno-Hatta.
Masa depan hukum Indonesia menuntut reformasi menyeluruh: membangun kembali legitimasi moral dan sosial hukum, memperkuat institusi penegakan hukum, dan menyeimbangkan kepentingan negara, masyarakat, dan martabat manusia. Tanpa itu, kemerdekaan tetap akan menjadi simbol retoris, bukan realitas yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait