Oleh: Fransiskus Solanus Afeanpah, S.H., M.H (Ahli Hukum Pidana)
KEFAMENANU, iNewsTTU.id - Dalam tradisi politik Indonesia, kemerdekaan nasional selalu dirayakan setiap 17 Agustus, sebagai peringatan proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno dan Hatta. Namun, setelah delapan dekade lebih, kita harus bertanya: apakah kemerdekaan itu telah benar-benar dirasakan dalam ruang hukum dan keadilan? Mengamati realitas hari ini, ada sebagian rakyat yang hidup dalam ketakutan, diburu-buru oleh ancaman ketidakadilan, dan menyaksikan hukum lebih banyak menjadi ancaman ketimbang pelindung.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kemerdekaan politik yang kita rayakan belum sepenuhnya merambah ke ranah hukum substantif. Fenomena ini, sebagaimana dijelaskan Gustav Radbruch, menegaskan dilema hukum modern: hukum harus menimbang kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, tetapi ketika ketiganya bertentangan, keadilan substantif harus diutamakan.
Ironisnya, di Indonesia, kepastian hukum formal lebih sering ditempatkan di atas keadilan substantif. Nenek yang dipenjara karena mencuri sebutir kakao atau selembar kayu menjadi simbol ketidakadilan sehari-hari, sementara pejabat yang menyelewengkan triliunan rupiah, seperti kasus Harvey Moeis yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, masih berkeliaran karena celah prosedural.
Kecenderungan ini selaras dengan teori hegemoni Antonio Gramsci. Hukum bukan sekadar alat represi, tetapi juga instrumen dominasi wacana yang menegasikan suara rakyat biasa. Dalam praktiknya, hukum di Indonesia tampil sebagai wajah otoritas yang berpihak ke atas, sementara di bawah ia menjadi kekerasan terselubung bagi rakyat.
Hal ini diperparah oleh lemahnya institusi demokrasi yang seharusnya menjadi penyeimbang. Jurgen Habermas menekankan pentingnya ruang publik yang memungkinkan deliberasi rasional antara warga negara. Namun, banyak undang-undang lahir bukan dari diskursus publik, melainkan dari tekanan oligarki, kepentingan politik, dan transaksi ekonomi. Contohnya, Omnibus Law dan revisi Undang-Undang Minerba, yang meskipun menuai resistensi publik luas, tetap dipaksakan melalui mayoritas politik, menunjukkan jarak antara norma hukum dan legitimasi sosial.
Ketidakadilan hukum juga menampakkan wajahnya melalui marginalisasi hukum adat. Paul Bohannan menegaskan bahwa hukum modern cenderung memonopoli otoritas, menyingkirkan sistem hukum tradisional yang menjaga keseimbangan sosial. Di Nusa Tenggara Timur, hukum adat selama berabad-abad menjaga harmoni masyarakat, namun kini sering digusur oleh hukum negara yang kaku.
Penyelesaian konflik dalam hukum adat menekankan pemulihan relasi sosial, bukan sekadar hukuman, tetapi praktik modern mengabaikan nilai ini. Werner Menski, dalam teori pluralisme hukum, menyatakan bahwa ketegangan antara hukum negara, hukum adat, dan norma sosial-agama harus dikelola sebagai kekuatan yang memperkaya rasa keadilan. Namun, dominasi hukum negara di Indonesia justru memperdalam ketidakadilan, mengerdilkan pluralitas hukum sebagai ancaman.
Situasi ini juga diperkuat oleh kondisi lembaga penegak hukum. Data Komisi Yudisial tahun 2024 mencatat lebih dari 1.500 laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim. Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, dengan skor 38/100.
ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2024 mencapai Rp48,7 triliun, sementara mayoritas pelaku besar mendapat hukuman ringan dan pelaku kecil dihukum berat. Fenomena ini menggarisbawahi ketidaksetaraan yang sistemik, kontras dengan gagasan John Rawls tentang keadilan sebagai fairness: hukum seharusnya menyetarakan warga negara, bukan memberi keistimewaan bagi yang kuat.
Hukum di Indonesia juga dipengaruhi oleh politik pembangunan yang bias elit. Paul Bauer menyoroti bahwa pembangunan tanpa keadilan hukum hanya menghasilkan pertumbuhan yang timpang. Data BPS dan Bank Dunia menunjukkan meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5% per tahun, koefisien Gini tetap berada di 0,38, menandakan ketimpangan tinggi.
Kasus Harvey Moeis, yang melibatkan penyelewengan izin pertambangan timah di Bangka Belitung senilai triliunan rupiah, menunjukkan bagaimana hukum kerap digunakan untuk melindungi modal besar dan merugikan rakyat lokal.
Praktik hukum yang berpihak pada modal ini memperlihatkan kegagalan hukum dalam melindungi kemampuan nyata warga untuk hidup bermartabat, sebagaimana ditekankan Amartya Sen dalam teori capability-nya. Petani tergusur dari lahan, masyarakat adat kehilangan akses ke hutan, dan buruh migran bekerja tanpa perlindungan hukum memadai adalah wajah sehari-hari ketidakadilan hukum di Indonesia.
Fran Magnis-Suseno menambahkan dimensi moral: negara hanya sah sejauh ia melindungi martabat manusia. Ketika hukum digunakan untuk menindas, mempermainkan, atau mengeksploitasi warga, negara kehilangan dasar moralnya. Kasus Harvey Moeis menjadi ilustrasi nyata bagaimana hukum dapat dirancang untuk melindungi kepentingan penguasa dan oligarki, sementara prinsip martabat warga diabaikan.
Sementara itu, Michel Foucault menyoroti mekanisme pengawasan dan disiplin dalam hukum modern: tilang elektronik, administrasi kependudukan, hingga razia aparat menciptakan jaring-jaring disiplin yang dapat merampas kebebasan bila tidak diawasi. Fenomena ini memunculkan wajah hukum yang lebih menekan warga kecil daripada mengendalikan mereka yang berkuasa.
Hukum dan lingkungan hidup juga menunjukkan kegagalan substantif. Indonesia menghadapi krisis ekologis: deforestasi, degradasi lahan, pencemaran laut, dan bencana akibat perubahan iklim. Data KLHK 2023 mencatat 3,7 juta hektar hutan rusak akibat aktivitas ilegal, tetapi penegakan hukum lingkungan tetap lemah. Kasus proyek geotermal di Nusa Tenggara Timur menambah dimensi kompleks: izin eksploitasi yang merugikan komunitas lokal, dampak ekologis yang signifikan, dan minimnya perlindungan hukum untuk masyarakat adat menunjukkan hukum sering gagal melindungi kepentingan publik, lebih memihak investor besar.
Lebih jauh, kebebasan sipil terbatasi oleh hukum yang represif. Hannah Arendt menegaskan bahwa kebebasan politik terletak pada ruang publik yang memungkinkan orang berbicara dan berpartisipasi. Di Indonesia, hukum sering dipakai untuk membatasi ruang publik: demonstrasi dikekang, kritik diseret dengan UU ITE, aktivis ditangkap dengan tuduhan subversif. Akibatnya, hukum tidak memperkuat demokrasi, tetapi menciutkan kebebasan, meniadakan ruang deliberasi publik yang seharusnya menjadi fondasi legitimasi hukum menurut Habermas.
Ironi lain muncul dari birokrasi hukum yang lamban. Data BPHN 2023 menunjukkan hanya sekitar 30% masyarakat miskin yang berhasil mendapatkan pendampingan hukum. Di sisi lain, aparat penegak hukum menghadapi kasus yang kompleks dan bernilai ekonomi tinggi, namun kerap ditemukan kasus keterlambatan, maladministrasi, atau konflik kepentingan. Kasus Harvey Moeis mengungkap bagaimana penyidikan panjang, negosiasi hukum, dan mekanisme pengalihan tanggung jawab membuat proses hukum tersendat, sementara rakyat kecil menghadapi penegakan hukum yang cepat dan keras.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan ini memperlihatkan bahwa hukum Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ia lebih sering menjadi instrumen oligarki daripada jaminan keadilan bagi rakyat. Analisis Radbruchian tentang keadilan substantif, etika politik Magnis-Suseno, fairness Rawls, pluralisme Menski, dan teori capability Sen semua menunjukkan bahwa hukum kita belum menjalankan fungsi dasarnya: melindungi yang lemah, membatasi kekuasaan yang kuat, dan memperkuat martabat manusia.
Momentum 80 tahun kemerdekaan adalah kesempatan untuk membayangkan ulang hukum Indonesia. Proses legislasi harus transparan, deliberatif, dan partisipatif, dengan pengawasan kuat untuk mencegah hukum menjadi alat represi.
Hukum harus mengakui pluralisme: memberi ruang pada hukum adat dan kearifan lokal sebagai bagian dari sistem keadilan nasional. Perlindungan terhadap yang lemah harus konkret, bukan retorika semata. Reformasi hukum harus menyasar kepastian perlindungan bagi masyarakat adat, petani, buruh migran, dan warga miskin, sehingga hukum tidak lagi menjadi instrumen dominasi.
Refleksi ini menuntut keberanian moral dan politik. Hukum tidak boleh berhenti sebagai teks formal; ia harus menjadi sarana keadilan yang nyata bagi seluruh rakyat. Dari kota hingga desa, dari pejabat hingga rakyat jelata, hukum harus hadir sebagai penjaga martabat, bukan alat oligarki. Kemerdekaan yang dirayakan setiap 17 Agustus akan bermakna bila hukum benar-benar melindungi rakyat dan menegakkan keadilan substantif.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka menuntut pertanyaan kritis: apakah rakyat telah merdeka dalam hukum dan keadilan? Jika jawabannya belum, kemerdekaan masih parsial, pincang, dan jauh dari janji yang diucapkan Soekarno-Hatta.
Masa depan hukum Indonesia menuntut reformasi menyeluruh: membangun kembali legitimasi moral dan sosial hukum, memperkuat institusi penegakan hukum, dan menyeimbangkan kepentingan negara, masyarakat, dan martabat manusia. Tanpa itu, kemerdekaan tetap akan menjadi simbol retoris, bukan realitas yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait