Sumber yang sama juga menyoroti minimnya transparansi dari pihak rektorat. Dosen yang tergabung dalam grup “Pejuang Tukin” disebut telah mendatangi sejumlah pejabat kampus, termasuk bendahara, bagian keuangan, Wakil Rektor II hingga Rektor Unimor pada 15 Juli 2025 lalu. Namun, jawaban yang diterima dianggap tidak memuaskan.
“Katanya sudah diproses di KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara), tapi waktu kami cek ke sana, informasinya simpang siur,” keluhnya.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran jika kampus akan mendapat "red flag" dari kementerian karena pelaksanaan pembayaran yang tidak sesuai jadwal nasional.
Menurutnya, ADAKSI sudah mengirimkan peringatan kepada sejumlah kampus yang belum mencairkan tukin secara penuh hingga 18 Juli 2025.
Pihak Kampus Buka Suara
Menanggapi hal ini, Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Unimor, Dr. Emanuel Be, Haukilo, memberikan klarifikasi.
Saat ditemui sejumlah wartawan di ruang kerja Rektor Unimor, Senin, 21/7/2025, Ia mengatakan tidak ada penghilangan hak dosen dan menegaskan bahwa keterlambatan pembayaran tukin terjadi karena faktor teknis dalam sistem keuangan negara yang baru diberlakukan.
Ia katakan, keterlambatan juga disebabkan oleh aplikasi SAKTI yang digunakan, di mana proses pembayaran harus dilakukan per bulan (tidak bisa gelondongan/sekaligus untuk 6 bulan), sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk pengajuan ADK dan penerbitan SP2D per bulan.
“Aplikasi SAKTI yang digunakan sekarang mewajibkan proses per bulan. Jadi tidak bisa langsung enam bulan sekaligus. Ini membuat proses pengajuan dan penerbitan SP2D memakan waktu,” jelas Emanuel kepada wartawan.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait