Bahan kering ini kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk (tradisionalnya disebut "mol") dan terakhir diayak untuk mendapatkan serat yang halus.
Serat inilah yang kemudian dicampur dengan parutan kelapa, sedikit gula, dan kacang hijau, lalu dibakar di atas tungku api sederhana berukuran 12x12 cm. Makanan ini mirip kerupuk namun dengan cita rasa khas yang berbeda.
Adriana bercerita, penganan sagu atau putak ini memiliki sejarah panjang di Malaka. Pada masa paceklik sekitar tahun 1965 hingga 1970, masyarakat Malaka seringkali bertahan hidup dengan mengonsumsi sagu ini. Hingga kini, putak telah menjadi makanan lokal yang sangat diminati.
Kesetiaan Pelanggan dan Buah Manis Perjuangan
Adriana mengaku sudah berjualan di pasar Malaka sejak empat tahun lalu, dan setahun terakhir ia melebarkan sayap ke Pasar Maubesi. Di Pasar Maubesi, ia sudah memiliki banyak pelanggan setia, tidak hanya warga lokal, tetapi juga pendatang.
Salah satunya adalah Sri Wahyuni atau Mbak Yun, seorang ibu asal Blora Provinsi Jawa Tengah yang sudah tujuh tahun menetap di Maubesi bersama suaminya. Mbak Yun selalu datang lebih awal untuk membeli jajanan ini demi putra bungsunya.
"Anak saya yang bungu kan lahir di Maubesi dia paling suka makanan putalaka ini, kisah Yuni saat ditemui di Pasar Maubesi,"rabu sore
Kisah Adriana Hoar Leki adalah cerminan kegigihan dan dedikasi seorang ibu. Jari-jemarinya yang lincah mengolah penganan lokal ini tak hanya menghasilkan nafkah, tetapi juga telah merawat dan membesarkan tiga buah hatinya hingga berhasil menyandang gelar sarjana.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait