KEFAMENANU, iNewsTTU.id--Bunyi guntur bergemuruh bersahut petir terdengar dari ufuk Timur Desa Makun pagi itu, awan hitam berbalut rintik hujan tak henti menetesi perbukitan hingga atap rumah penduduk di desa itu sekira awal Bulan Januari.
Dari balik dinding pelepah gewang sebuah rumah, terlihat seorang anak remaja pria berseragam putih abu-abu mondar-mandir, sesekali menengok dari celah dinding sembari berharap hujan segera reda agar ia bisa ke sekolah. Dia adalah Andi Makun siswa SMK Negeri Feotleu.
Jam dinding yang tergantung di tiang sudut pondoknya hampir menunjukan angka 6 lebih 30 menit WITA, hujan pun tak kunjung reda, Andi terpaksa menggunakan 'snuna' payung tradisonal dari daun gewang yang dianyam sebagai pelindung dari hujan, ia pun bergegas ke sekolah.
Tanpa alas kaki, langkah kaki Andi semakin cepat, hanya sesekali ia membetulkan 5 buah buku tulis yang dijepit di ketiaknya agar tidak jatuh ke genangan air hujan bercampur lumpur.
Hatinya berkecamuk, selain menembus derasnya hujan, ia harus bertaruh dengan kondisi jalan yang licin dan berlumpur, sembari mempertahankan buku-bukunya agar tidak basah.
Penulis pun penasaran dan mengikuti arah jalan tujuan siswa itu, ternyata ia masuk di salah satu bangunan reot. Bangunan itu ditopang oleh tiang tiang kayu bulat berdiameter 7-10 centimeter yang sudah lapuk setinggi dua meter dibalut atap dari daun gewang yang berlubang hingga tembus pandang ke langit serta dinding dari pelupuh bambu yang berjejer rapi mirip terali.
Siswa-siswi SMK Negeri Feotleu saat mengikuti pelajaran di dalam bangunan reot. Foto Istimewa
Nafasnya terengah-engah pagi itu, ia mengira jam pelajaran sudah dimulai, padahal, saat kakinya yang masih berbalut lumpur menginjak ruang kelas sekolah itu, beberapa temannya sedang sibuk menggeser meja dan kursi agar tidak terkena air hujan sebelum pelajaran dimulai.
"iya Pak, sekolah kami begini sudah, kala hujan turun, kami terpaksa bergeser di bagian lain dalam ruang yang tidak kena air hujan, bahkan ruang kelas berlumpur, tapi kami tetap semangat,"kisah Andi pagi itu kepada penulis.
Kondisi kesulitan para siswa inilah yang dialami mereka bertahun-tahun semenjak mengeyam pendidikan di Sekolah ini.
Bangunan Sekolah tempat Andi menimba ilmu ini hanya terdiri dari 5 ruangan saja, setiap ruang berukuran 3x4 meter, ruang di sisi timur dijadikan ruang yang ditempati Kepsek, berikutnya ruang guru dan tiga ruang kelas untuk siswa-siswi.
Meskipun tak seberuntung ribuan siswa di sekolah yang sederajat di tanah air dengan fasilitas gedung mewah, akses jalan yang memadai dan fasilitas pendukung lainnya, Andi dan rekan lainnya tak punya pilihan.
Vaustinus Man Paebesi, Kepala Sekolah tempat Andi menimba ilmu mengakui, ada 85 anak siswa di sekolahnya. SMK Negeri yang ia pimpin juga didukung oleh 12 orang Guru, namun sayangnya bangunan yang mereka pakai masih bersifat darurat, bahkan jauh dari sisi layak.
"Kondisi sekolah kami memang begini, kalau musim hujan, para guru masuk sekolah tanpa sepatu karena di ruang kelas penuh dengan lumpur,"ungkap Vaustinus kala itu.
Tampak bagian depan Bangunan sederhana SMK Negeri Feotleu yang lama. Foto: Istimewa
Ia mengisahkan, kepedulian orangtua siswa agar anak-anak mereka bisa sekolah dengan nyaman, pada dua Tahun silam, para orangtua siswa membawa bahan lokal seperti kayu bulat untuk tiang, daun gewang untuk atap dan pelupuh bambu untuk dinding, bahan lokal itu kemudian dimanfaatkan untuk membangun sekolah darurat tersebut.
Kondisi itu tak hanya diungkapkan oleh Kepala sekolah SMK Negeri Feotleu, warga setempat yang anak anaknya mengenyam pendidikan di sekolah itu pun membenarkan hal yang sama.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait