Politik Uang dalam Perspektif Hukum Positif
Secara sederhana politik uang dapat diartikan sebagai cara menggunakan uang secara haram untuk mempengaruhi keputusan tertentu. Artinya uang dijadikan alat untuk memengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan sesuai dengan keinginan si pemberi uang dalam pelaksanaan pemilu. Atau dengan kata lain politik uang merupakan praktik kontra demokrasi. Adapun yang dimaksud dengan Pemilu ialah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memeilih anggota DPRD yang dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
Tentu kita sepakat bahwa sejarah pembentukan dan perkembangan Negara Hukum atau Rechstaat salah satunya bercirikan adanya principle of legality yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-udangan atau biasanya disebut juga nulum delictum nulla poena sine paraevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu). Konsekuensi dari makna ini adalah bahwa penindakan terhadap suatu pelanggaran dan kejahatan pemilu haruslah diatur terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Sehingga dalam implementasi penindakan tidak melanggar hukum, tidak terjadi abuse of authority.
Dalam hukum pidana nasional Indonesia ketentuan hukum yang berkaitan dengan asas legalitas tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang secara tegas menyatakan :“ tiada satu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan’. Ketentuan tersebut sama persis dengan ketentuan hukum asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) wetboek van Strafrecht di Negeri Belanda yang juga secara tegas menyatakan, “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling.
Ketentuan hukum asas legalitas dalam kedua KUHP merujuk pada pasal Code Penal Prancis yang disusun oleh Napolen Bonaparte,“Nulle contravention, nuldelit, nul crime, ne peuvent etre punis de peines gui n’ etaient pasprononcees par la loi avant qu’ils fussent commis” ” yang bermakna tidak ada pelanggaran, tidak ada delik tidak ada kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum diadakan terlebih dahulu.
Dari pengertian asas legalitas tersebut di atas dapat disimpulkan, pertama, Tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa UU sebelumnya. Konsekuensinya adalah ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, Tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa UU tertulis. Konsekuensinya adalah semua ketentuan pidana harus tertulis dengan kata lain, baik perbuatan yang dilarang, maupun pidana yang diancam, terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis secara expressive verbis dalam undang-undang.
Terkait politik uang sudah diatur dalam hukum positif kita sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Dalam pasal 149 KUHPidana sebagai lex generalis aturan umum) yang menyatakan : ayat (1) disebutkan barang siapa pada waktu diadakan pemilu menurut aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjadikan sesuatu, menyuap seseorang supaya dia tidak menggunakan hak pilihnya atau supaya dia menggunakan hak itu dengan cara tertentu, diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan pidana yang sama dikenakan kepada pemilih yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap supaya menggunakan atau tidak menggunakan haknya seperti di atas. Dari pasal ini dapat ditarik suatu konklusi dasar bahwa pemberi dan penerima politik uang sama-sama dikualifikasi sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat diancam dengan hukuman pidana.
Selain itu, politik uang (money politic) juga diatur dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017 sebagai lex specialis (aturan khusus) di sana secara tegas mengatur sanksi pidana politik uang. Dalam hal ini politik uang selain diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga diatur dalam pasal 149 KUHPidana maka penerapan hukumnya berlaku asas “lex specialis derogate legi generalis” yang artinya aturan yang bersifat khusus menyesampingkan aturan yang bersifat umum. Berlandaskan asas tersebut maka hukum yang digunakan untuk menindak pemberi dan penerima politik uang adalah UU No 7 Tahun 2017 sebagai lex specialis.
Dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang sanksi pidana politik uang yang secara tegas di atur dalam pasal 523 ayat 1 sampai dengan ayat 3 yang selengkapnya berbunyi : ayat (1) “Setiap pelaksana peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah”. Ayat (2) menyebutkan “Setiap pelaksana peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak 48 juta rupiah”.
Selanjutnya ayat (3) menyebutkan ”Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah”. Ketentuan pasal ini jelas mengatur 3 (tiga) kategori pidana politik uang yakni pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada saat pemungutan suara. Sanksi pidana politik uang pada masa tenang lebih berat daripada politik uang pada saat kampanye dan pada saat pemungutan suara.
Ketentuan tersebut merupakan hukum materiil yang digunakan sebagai dasar penindakan kepada mereka yang melakukan praktik politik uang dari sisi criminal act dan criminal responsibility. Tentu melalui prosedur hukum yang nantinya akan diuji dan dibuktikan adanya unsur kesengajaan (willens en wetens) yang dilanggar oleh pelakunya. Disini hukum menjadi pelumas mesin dan roda demokrasi agar sistem dan mekanime demokrasi dapat berjalan dengan lancar. Akan tetapi hukum bukan satu-satunyanya instrumen untuk memberantas praktik politik uang.
Penindakan dari sisi hukum formil tidak serta merta menyikis habis paraktik politik uang. Untuk itu perlu juga dukungan pengawasan partisipasi publik dan tentu konsistensi pengawasan dari pihak pengelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu, dan penguatan kontrol media masa yang independen. Fenomena politik uang dalam Pemilu menjadi lonceng matinya politik bermartabat. Politik bermartabat sejatinya berorientasi kesejahteraan rakyat, namun pragmatisme politik hanya mengatasnamakan rakyat.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait