KEFAMENANU, iNewsTTU.id--Jumat pagi, 11 Juli 2025. Udara dingin menusuk kulit, sesuai catatan termometer di dinding tembok rumah menunjukan suhu hanya berkisar 12 derajat Celsius. Kabut masih menyelimuti Kota Kefamenanu jalan masih sepi, Kabut tebal juga menutupi perbukitan di wilayah Eban, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Di tengah sunyinya pagi itu, deru mesin mobil mobil Hilux berwarna putih berpelat DH 8038 WE memecah kesunyian melaju perlahan menembus dingin dan kabut, membawa rombongan dari PDAM Tirta Cendana Kefamenanu menuju sumber air Mutis di Oelnianin.
Di dalam kabin, ada empat orang: sopir, Direktur PDAM Rudolfus Manlea, Kepala Bagian Teknik Sefri Kosat, dan saya selaku jurnalis. Di bagian bak belakang, tiga staf PDAM lainnya duduk bersila sambil memegang sisi mobil. Hari itu adalah jadwal rutin pembersihan sumber air Mutis — sumber kehidupan ribuan pelanggan air bersih di wilayah TTU dan sebagian TTS.
Menyeruput Kopi di Mnesatbatan
Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di reservoir induk PDAM di Mnesatbatan. Resoervoir ini berukuran panjang 15 merer, lebar 15 meter dan tinggi 2 meter. Di sinilah air bersih dari pegunungan Mutis ditampung sebelum dialirkan ke berbagai wilayah kota.
Jarak pandangg tak bisa jauh karena kabut masih tebal, sepanjang perjalanan, kami hanya melihat beberapa warga yang duduk melingkari api unggun di depan rumah, tubuh mereka masih terbungkus kain tebal.
Sambil menunggu dua tetua adat penjaga sumber — Lukas Tefa dan Donatus Nesi dari Desa Noepesu — kami menyeruput kopi panas. Sinar mentari mulai muncul malu-malu dari balik bukit, memberi sedikit kehangatan. Aroma kopi bercampur embusan angin pegunungan menciptakan suasana syahdu.
Tak lama berselang, sejumlah petugas PDAM lainnya tiba, dan sekitar pukul 09.00 WITA, upacara adat pun dimulai. Di altar kecil di atas salah satu bukit kecil tak jauh dari reservoir induk. di altar ini kita bisa memandang ke arah barat letak Gunung Mutis yang masih diselimuti awan putih.
Saat itu, Direktur PDAM dan Dewan Pengawas Yohanis Sanak menemani Donatus Nesi yang memimpin ritual dengan sirih, pinang, dan sebotol sopi. Tujuannya satu: meminta restu leluhur untuk perjalanan menuju sumber air Mutis.
Ritual, Jalur Ekstrem, dan Lintah Gunung
Usai ritual adat, Perjalanan berlanjut dari Reservoir induk di Mnesatbatan menggunakan dua mobil menuju bibir kali. Di titik itulah kendaraan ditinggalkan, kami tidak sendiri, namun ada warga pun ikut menemani menuju sumber air.
Sebelum melangkah masuk ke dalam kawasan hutan, ritual adat kembali dilakukan. Kali ini dengan menyembelih ayam jantan merah-hitam, di bawah pohon tempat kelewang adat, sirih, pinang, dan sopi telah ditata rapi. Lukas Tefa memimpin doa-doa adat yang penuh kekhusyukan.
Tujuan ritual adat kedua adalah meminta pengawalan dari leluhur agar bisa membuat kami merasa aman dalam perjalanan, selain itu agar tidak tersesat, mengingkat Gunung Mutis masih lengket dengan pantangan-pantangan yang harus kita ikuti.
Pantangan tersebut seperti tidak boleh menoleh ke belakang, tidak boleh terantuk, tidak boleh kaget dan tidak boleh mengingini tumbuhan unik yang ada di sepanjang perjalanan jika tidak maka ganjarannya bisa saja tersesat dalam perjalanan.
Lalu, perjalanan pendakian dimulai. Jalur yang kami tempuh bukan jalur biasa. Baru 15 menit berjalan, kami harus berhenti dan beristirahat di pinggir tebing.
Di sisi kiri, hamparan sawah hijau menjadi hiburan sejenak. Tapi perjalanan masih panjang. Kami melintasi aliran kali pertama, lalu hutan lebat dengan pepohonan tinggi yang menghalangi cahaya matahari, membuat suasana sedikit gelap dan mistis.
Sekitar satu jam berjalan, kami pun diberi percikan air dari Donatus Nesi — sebuah ritual adat bagi orang yang pertama datang di gunung Mutis agar tidak tersesat di tengah hutan. Selanjutnya, kami harus meniti sebatang pohon yang membentang di tengah kali sebagai jembatan, karena arus sungai sangat deras.
Di sepanjang jalur, terlihat lima pipa induk — ukuran 4, 6, dan 8 inch (Dim) yang menyalurkan air ke wilayah TTU dan TTS, dua pipa ukuran 6 dim untuk wilayah TTS dan tiga pipa ukuran 4, 6 dan 8 Dim untuk wilayah TTU. Pipa-pipa itu adalah nadi kehidupan. Namun tak mudah menjaganya.
Kami juga harus ekstra hati-hati. Lintah-lintah hutan kerap menempel di kaki, mengisap darah tanpa ampun, namun kami membawa obat penawar seperti kapur ataupun tembakau. Namun semua itu seolah tak berarti saat kami tiba di titik puncak — sumber air Oelnianin — tepat pukul 12.16 WITA, dua jam sejak awal pendakian.
Kerja Keras dan Dedikasi
Tanpa menunda waktu, para petugas PDAM langsung bekerja. Dengan sekop saling adu dengan pasir dan bebatuan, mereka mengangkat pasir dan sedimen dari dalam bronkap berukuran 3x3 meter, dengan kedalaman 2 meter. Sebagian lainnya membersihkan saluran dari tumpukan daun dan sampah.
Kabut belum juga menyingkir. Matahari hampir tak terlihat. Udara masih dingin menggigit. Namun bagi para petugas, pekerjaan ini adalah panggilan tugas, bukan sekadar kewajiban.
Sefri Kosat menjelaskan, pembersihan sumber air dilakukan rutin setiap tiga bulan. Tapi tantangan sesungguhnya terjadi saat pipa induk — terutama pipa 8 inch — mengalami kerusakan. Mereka harus memikul mesin las dan menempuh jalur ekstrem selama dua jam menuju titik kerusakan untuk melakukan pengelasan manual.
“Khusus waktu badai Seroja, banyak pipa yang putus. Kami sampai harus tidur lima minggu di hutan,” kisahnya.
Tak hanya itu, mereka harus menyewa warga untuk memikul pipa-pipa berukuran besar — antara 4 hingga 8 inch — menggantikan pipa yang bengkok dan rusak.
Tantangan yang Tak Bisa Diabaikan
Bagi Direktur PDAM Rudolfus Manlea, ini adalah pengalaman pertamanya naik ke sumber air Mutis sejak dilantik. Ia mengaku nyaris kehabisan tenaga dan harus beberapa kali berhenti selama perjalanan.
“Kondisi jalan terjal, hutan lebat, tanpa sinyal… semua jadi tantangan tersendiri,” ungkapnya.
Namun semua rasa lelah terbayar saat melihat langsung betapa vitalnya sumber air Mutis di Oelnianin bagi masyarakat TTU dan TTS. Saat ini, pipa transmisi 8 inch dan distribusi utama masih dalam kondisi baik. Namun PDAM tetap melakukan pemeliharaan rutin untuk mengantisipasi kebocoran mendadak.
Dewas PDAM, Yohanis Sanak, yang ikut dalam rombongan pendakian ke sumber air itu, turut memberikan catatan penting. Ia menyoroti dua aspek utama yakni cakupan layanan dan kualitas air.
“Hari ini kita lihat dua sumber yang sangat potensial. Tapi cakupan layanan masih 21 persen dari wilayah kota. Ini harus ditingkatkan,” tegasnya.
Air Mutis, Air Kehidupan
Bupati TTU, Yosep Falentinus Delasale Kebo, saat lakukan kunjungan kerja di Wilayah Kecamatan Miomaffo Barat sore itu mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mengajukan proposal senilai Rp105 miliar untuk pengembangan sistem jaringan air bersih.
Salah satunya adalah mengganti pipa tua dan menambah sambungan baru, terutama ke wilayah-wilayah yang belum terjangkau seperti Dalehi dan sebagian Maubeli.
"Kita ada rencana pengembangan ke depan dari proposal yang kemarin kita ajukan kurang lebih sebesar 105 miliar, Tujuannya adalah mengganti pipa yang sudah karat atau rusak kemudian menambah sambungan baru,"tandasnya.
Penelitian menunjukkan bahwa air dari Mutis merupakan salah satu sumber air paling bersih di Pulau Timor. Tidak mengandung kapur, bahkan setelah dimasak berkali-kali.
PDAM TTU saat ini mengelola reservoir induk berukuran 15x15x2 meter di Mnesatbatan serta beberapa lainnya di Oelneke, Kensulat, Airbak, Tunbakun, Bukit 10, dan kilometer 9. Ada 5.380 pelanggan yang bergantung pada air dari pegunungan ini.
Di balik aliran air jernih yang kita nikmati setiap hari dan di Balik Langkah Letih Petugas PDAM ada perjuangan panjang para petugas yang menembus hutan, mendaki tebing, melawan cuaca, dan bertarung dengan lintah.
Air bersih memang tampak sepele, namun untuk mendapatkannya, dibutuhkan kerja keras, dedikasi, dan kadang, pengorbanan.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait