Masyarakat Adat Amanuban Berkomitmen akan Pertahankan Tanah Adat Mereka Apapun yang Terjadi

Rudy Rihi Tugu
Sekretaris Masyarakat Adat Amanuban, Pina One Nope menyatakan warga Amanuban akan mempertahankan tanah adat mereka. Foto : ist

SOE,iNewsTTU.id- Masyarakat Adat Amanuban tidak henti- hentinya memperjuangkan hak tanah mereka yang yang hendak diklaim sepihak oleh pemerintah. maka bertempat di Sonaf Sonkolo, kerajaan Amanuban dilaksanakan Musyawarah Adat Amanuban yang membahas persoalan Pelaksanaan Pengukuran Kawasan Hutan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV yang dilakukan sejak bulan Agustus 2023 – September 2023.

Pelaksanaan pengukuran ini berdasarkan surat dari Balai Penetapan Kawasan Hutan nomor : S.348.BPKHTL/PPKH/PLA.2/8/2023 tanggal 15 Agustus 2023.

Sekretaris Masyarakat Adat Amanuban, Pina One Nope, kepada iNews.id, Jumat ( 29/9/2023) menyatakan musyawarah adat ini dihadiri oleh seluruh tokoh-tokoh adat di seluruh Amanuban terutama desa-desa  yang terdampak sebagaimana lampiran dari surat Pemerintah Daerah TTS yaitu nama-nama desa yang terdampak di wilayah adat Kerajaan Amanuban adalah 42 desa (di 8 Kecamatan).

Di dalam musyawarah adat ini dilakukan pembahasan untuk mengumpulkan berbagai informasi, usul saran dan masukan yang kiranya menjadi bahan evaluasi.

Dari Musyawarah dibahas juga konsep dalam Pokok-pokok Pikiran musyawarah adat Amanuban yang terlampir sebagai satu kesatuan dari berita acara ini. Dalam musyawarah adat ini di kumpulkan informasi yaitu

1.     Bahwa dari Pengukuran oleh pihak BPKH ini, sebagian besar rakyat terkejut bahwa lahan, kebun dan permukiman penduduk diklaim sebagai kawasan hutan milik negara. Pengukuran dari BPKH ini menurut penjelasan bertujuan untuk membebaskan areal jalan umum (yang katanya masuk kawasan hutan) sebagai APL (areal penggunaan lainnya) agar masyarakat bisa menjadikannya sebagai Hak Milik.

2.     Bahwa sebenarnya tanah-tanah yang diklaim Tim Kehutanan sebagai kawasan hutan adalah tanah-tanah permukiman (kuan/ kot), pekarangan disekitar rumah (po’an), kebun-kebun (lene) dan tanah-tanah warisan lainnya yang belum diolah/ belukar (mnuke) milik rakyat Amanuban yang memang sudah menjadi hak milik turun temurun sejak ratusan tahun lalu berdasarkan pembagian oleh raja Amanuban (Usif Banam).

3.     Sebagaimana biasanya program TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) yang terjadi di daerah lainnya (di luar kabupaten TTS) sebagai berikut : tanah yang benar-benar MILIK kehutanan (obyek milik pemerintah) diukur dan dibebaskan untuk menjadi hak MILIK rakyat. Sedangkan di Amanuban terjadi sebaliknya yakni tanah-tanah MILIK rakyat yang sudah didiami ratusan tahun dan turun temurun (Batan Nao Neu Batan) diklaim sebagai kawasan hutan milik negara dan diukur untuk dibebaskan kembali sebagian bagi rakyat. Tanah-tanah MILIK rakyat yang belum diukur BPKH itu akan tetap menjadi milik pemerintah dan rakyat boleh mengolahnya menjadi HAK PAKAI saja selama 35 tahun.

4.     Menilik fakta tersebut diatas, maka jelas tanah Hak Milik masyarakat Amanuban telah berubah statusnya menjadi Hak Pakai, kecuali tanah-tanah yang rencananya akan dibebaskan oleh Tim BPKH sebagai APL (Areal Penggunaan Lainnya);

5.     Bahwa sesungguhnya klaim pihak BPKH atas tanah-tanah rakyat merupakan ancaman terhadap Hak Kepemilikan tanah masyarakat sebagai Hak Purba.

Berangkat dari hal itu maka masyarakat adat Amanuban menyatakan sikap dalam beberapa poin penting yakni :

1.     Subyek Hukum Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban beserta Hak-Hak Purbanya atau Hak Tradisionalnya telah ada sebelum kedatangan bangsa Eropa maupunke Timor dan berada dibawah pimpinan Dinasti Nope;

2.     Tanah-tanah di seluruh Amanuban merupakan hasil pertempuran dan perang di melawan raja Tkesnai, Jabi dan kaesmuti (Belanda) masa awal kedatangan bangsa Belanda ke Timor yaitu tahun 1641-1658;

3.     Bahwa setelah perang berakhir dan tanah-tanah ini dikuasai, maka dibagi-bagi habis kepada penduduk Amanuban oleh raja yang kemudian disebut (susi-susi’ ma klui-klui’) dan dikuasakan kepada komponen-komponen adat yaitu Nai, Fetor, Oof, Tamukung dan Anaanmnes (imam);

4.   Bahwa seluruh tanah di Amanuban telah terbagi habis;

5.   Bahwa di dalam Hukum Adat Amanuban, tanah leluhur adalah ayah (amaf) dan ibu (ainaf) yang melahirkan, memangku dan membesarkan manusia;

6.     Bahwa masyarakat Adat Amanuban dengan tegas menolak adanya klaim pihak Kehutanan cq. BPKH Propinsi dan Masyarakat Adat Amanuban beranggapan bahwa tindakan BPKH Propinsi NTT dengan melakukan pemasangan patok-patok / pilar-pilar beton diatas tanah masyarakat adalah MELANGGAR DAN SANGAT BERTENTANGAN DENGAN ADAT ISTIADAT SERTA HUKUM ADAT AMANUBAN;

7.     Bahwa seluruh peserta Musyawarah telah sepakat bahwa dahulu leluhur Masyarakat Amanuban memperoleh dan mempertahankan tanah-tanah ini melalui perjuangan, peperangan dan air mata yang disebut dalam bahasa Timor/ Uab Meto’ : na’ an sai onle noe ma nuif an lasa on noko” yang artinya : darah mengalir seperti sungai dan tulang belulang bersusun seperti gunung batu. Oleh karena itu, maka diputuskan dalam Musyawarah ini bagi Masyarakat Adat Amanuban bahwa upaya untuk mempertahankan warisan leluhur masing-masing orang Amanuban dari upaya perampasan adalah Wajib.

Dalam musyawarah Adat ini, maka masyarakat Adat dari beberapa bagian Amanuban yang hadir dalam musyawarah dan yang terdampak yaitu :  Kecamatan Amanuban Barat, Kecamatan Kuatnana, Kecamatan Amanuban Tengah, Kecamatan KiE, Kecamatan Fatumolo, Kecamatan Fatukopa, Kecamatan Amanuban Timur.

Sesuai daftar terlampir secara bersama-sama membuat Pernyataan Sikap yang dengan tegas agar Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera :

1.     Mencabut SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 357 tahun 2016 tentang penetapan Kawasan Hutan Laob-Tunbes.

2.     Mencabut     surat Penetapan Kawasan Hutan Laob-Tumbesi Nomor : S.348.BPKHTL/PPKH/PLA.2/2023.

3.     Negara harus menghormati Hak-Hak Purba Masyarakat Adat di Seluruh Indonesia terutama Masyarakat Adat Amanuban;

4.     Apabila Pemerintah tidak mencabut SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 357 tahun 2016 tersebut diatas, maka Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban beserta seluruh komponen masyarakat adat Amanuban akan mengambil langkah-langkah hukum yang tegas demi melindungi hak-hak Hidup seluruh Masyarakat Adat Amanuban beserta Hak-Hak Purba-nya atau hak-hak tradisionalnya dengan mengambil segala resiko yang ada.

" Intinya kami tidak akan tinggal diam ketika hak tanah adat kami hendak diambil dengan cara- cara yang tidak pantas, kami akan mempertahankan tanah kami apapun yang terjadi, kami tidak ingin Amanuban seperti Rempang," pungkas Pina.(*)

 

 

Editor : Sefnat Besie

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network