Martin Buber dan Di mana kita
Tema lain dari pidato Prefek adalah karya filsuf Yahudi Martin Buber.
Wajar, katanya, ketika menghadapi kejahatan di dunia, untuk bertanya pada diri sendiri 'Di mana Tuhan dalam semua ini?'.
"Namun, kita harus, tegasnya, juga bertanya pada diri sendiri, seperti yang dikatakan Buber, 'Di mana kita?'," lanjutnya.
Ini adalah pertanyaan yang diajukan Tuhan kepada Adam di Taman Eden, tulis Buber, dan, seperti Adam, semua orang menyembunyikan diri.
Semua orang mengabaikan kenyataan mengerikan di dunia sekitarnya, atau menerimanya sebagai hal yang tak terhindarkan. Tetapi ini tidak akan pernah menjadi tanggapan yang dapat diterima.
"Karena Kita semua terlibat. Kita hidup di masa ketika kita tidak dapat mengatakan, Saya tidak ada di sana, saya tidak tahu,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ia menyimpulkan, penting menjadi individu yang tahu bagaimana melihat kejahatan, yang tahu bagaimana membedakannya, yang tahu bagaimana mencelanya, menerimanya dan mengubahnya dengan kekuatan kebaikan.
Peran aktor iman
Dalam sambutannya di awal diskusi, Chris Trott, Duta Besar Inggris untuk Takhta Suci, menekankan peran penting yang dapat dimainkan oleh para pemimpin agama dalam memerangi kekerasan seksual.
Pertama, kata Duta Besar Trott, mereka dapat membongkar salah tafsir berbahaya dari teks-teks agama yang digunakan untuk membenarkan kekerasan seksual dalam konflik.
"Kedua, mereka, lebih dari sekadar politisi, dapat berbicara dengan hati nurani masyarakat dalam menuntut diakhirinya kekerasan seksual terkait konflik, serta stigma yang terlalu sering dihadapi oleh para penyintas dan anak-anak mereka," jelasnya.
Dalam hal ini, Duta Besar menyoroti peran yang dimainkan Paus Fransiskus baru-baru ini, dengan mengatakan bahwa pernyataannya yang mengutuk kekerasan seksual selama kunjungannya baru-baru ini ke DRC sangat kuat.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait