3. Pernyataan pejabat Pemprov NTT bahwa “pemilik Hak Ulayat” atas Pubabu adalah keluarga Nabuasa merupakan sebuah kekeliruan besar. Kata “Hak Ulayat”sendiri dalam struktur hukum Indonesia adalah “Hak Purba”. Menurut Djojodigoeno (yang dikutip oleh Iman Sudiyat dalam buku Hukum Adat – Skesta asas – Liberty Yogyakarta 1981 halaman 3) Hak Ulayat adalah Hak Persekutuan atau disebut juga Hak Purba. Dalam repository ini maka jelas hak Perseorangan menjadi lemah atau dengan kata lain tidak dapat diakui. Menurut Supomo, Hak Ulayat juga disebut Hak Pertuanan oleh karena itu disebut juga sebagai Hak Purba, maka dalam kasus Pubabu- Besipa’E adalah suatu kebingungan tersendiri apabila Pemprov secara mati-matian mengakui Nabuasa yang merupakan keturunan temukung Pollo dan temukung Linamnutu sebagai pemegang hak ulayat sedangkan Ketemukungan di seluruh Amanuban adalah bentukan raja Amanuban;
4. Bahwa dalam hikayat-hikayat dan sejarah lisan Amanuban, sejak tahun 1650-an wilayah Bena-Ulmoen-Lulfam-Batnun memiliki keterkaitan historis dengan leluhur Boimau yaitu Bilpika Boimau dan Leluhur keluarga Toni-Leosae di Kualin yaitu Komi Lina / Lina Tuan (dimana kemudian nama Limannutu itu muncul). Oleh sebab itu, persoalan Pubabu-Besipa’E bukan persoalan remeh temeh seperti yang digembar-gemborkan oleh pejabat Pemrov dan Buzer media sosial yang dengan gampangnya Pemprov menyebut orang tertentu sebagai Pemegang Hak Ulayat seperti seumpama membuat selembar SPPD fiktif lalu beranggapan bahwa semua tindakan represif itu benar;
5. Bahwa Hak atas tanah yang selama ini diklaim oleh Pemprov atas tanah Pubabu adalah Hak Pakai (Copy Sertifikat terlampir). Merujuk pada Hukum Positif sebagaimana di atur dalam Undang-
Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dan peraturan turunannya, maka jelas bahwa HAK
PAKAI atas Hutan Adat ini sejak tahun 1986 itu sudah berakhir paling lambat 2006 dan sudah seharusnya dikembalikan kepada rakyat Amanuban. Sangat disesalkan bahwa tindakan Pemprov NTT justru bertentangan dengan produk perundang-undangan itu sendiri dan mengklaimnya sebagai hak milik Pemprov bahkan mengusir masyarakat serta memperluas jangkauan dan luasan Instalasi peternakan Besipa’E hingga telah memasukan wilayah permukiman dan kebun masyarakat
Amanuban Dusun Hausunaf Desa Linamnutu dan Dusun Oenoni Desa Mio.
6. Kami menyadari bahwa pemerintah Republik Indonesia di masa orde lama telah menghapus sistim pemerintahan kerajaan namun hak-hak masyarakat Amanuban tidak dengan serta merta telah tercabut dari akar-akarnya sehingga pihak manapun dapat dengan leluasa menindas hak-hak masyarakat Amanuban. Sebenarnya berapa juta ekor sapi yang akan diternakan dan dikembangbiakan oleh Pemprov NTT diatas lahan tersebut sehingga bertindak sewenang-wenang serta mengklaim hampir 4.000.000 m2 tanah? Sehingga melakukan tindakan yang tidak manusiawi terhadap warga Amanuban di Pubabu?;
7. Bahwa kami sangat menyesalkan pernyataan salah satu petinggi Sinode Gereja di NTT yang menantang Masyarakat Adat Amanuban serta mempersilahkan untuk menggugat Pemprov melalui mimbar gereja dengan nada provokasi dan merendahkan. Kami menyadari bahwa Masyarakat Adat bukan siapa-siapa lagi dan tidak ada gunanya lagi di negara ini. Mencermati fenomena bahwa sistim politik Negara ini telah menempatkan para Politisi dan Rohaniwan untuk saling memperkuat posisinya sekalipun itu berkaitan dengan peristiwa kemanusiaan namun sesungguhnya hak hidup masyarakat Amanuban atas tanah dan air Amanuban yang diperoleh leluhur masyarakat Amanuban itu berasal dari TUHAN bukan dari sistim politik adu domba. Pernyataan ini sangat kami sesalkan;
8. Bahwa hak untuk menggugat di Pengadilan justru kami serahkan kepada Pemprov sebagai pihak yang merasa dirugikan akibat satu atau dua petak tanah miliknya telah diserobot masyarakat Amanuban yang memang saat ini sangat membutuhkan ruang hidup bukan saja Sapi-Sapi Pemprov terutama masyarakat di Dusun Hausunaf Desa Linamnutu dan Dusun Oenoni Desa Mio yang saat ini tidak dapat tidur nyenyak sebab sewaktu-waktu mereka juga bisa diperlakukan sama oleh Pemprov. Justru tindakan pejabat Pemprov dengan melakukan tindakan anarkis telah memberi dampak buruk bagi upaya penegakan hukum di Republik ini;
9. Bahwa melalui Press Realesse ini kami menghimbau kepada seluruh komponen masyarakat Amanuban agar bersatu padu dan jangan terpecah-pecah atau terkotak-kotak dengan berbagai opini yang tidak sehat, meneguhkan hati untuk mempertahankan identitas kita sebagai orang-orang yang patut untuk dihargai secara manusiawi baik oleh pejabat atau oleh sistim negara;
10. Oleh karena itu, kami meminta dengan hormat kepada Bapak Gubernur NTT dan seluruh pejabat teras di lingkup pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menghentikan semua tindakan represif terhadap masyarakat Amanuban yang kecil, miskin dan sengsara di Pubabu/ Besipa’E Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur serta memberikan ruang hidup bagi masyarakat untuk bermukim, bertani dan beternak sebagaimana layaknya warga Negara lainnya.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait