Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban Kembali Sesalkan Tindakan Represif Pemprov NTT

Rudy Rihi Tugu
Sekretaris Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban, Pina One Nope. Foto : ist.



1. Terkait pernyataan Pejabat Pemprov bahwa warga Amanuban di Pubabu / Besipa’E adalah warga
Okupan dan warga liar, perlu kami sampaikan bahwa :

a. Adapun kata “Okupan” adalah tidak tepat sebab istilah ini tidak ditemukan dalam Kamus besar bahasa Indonesia. Sedangkan Okupasi merujuk pada “pendudukan suatu tanah kosong, atau penguasaan suatu daerah oleh tentara asing”. Bahwa warga Amanuban bukan “tentara asing”
sehingga Pejabat Pemrov menyebut para warga Amanuban di Besipa’E sebagai tentara asing yang menduduki tanah Pemprov adalah pernyataan yang mengada-ada;

b. Bahwa pernyataan Pejabat Pemprov tentang warga Amanuban yang mendiami Hutan Adat (Kio) Pubabu sebagai warga liar bertolak belakang dengan pengakuan pemerintah sendiri terhadap eksistensi warga Amanuban di wilayah tersebut. Sebagai contoh, tahun 2017 ketika akan dipasang tiang-tiang listrik yang melalui kawasan Pubabu/ Besipa’E, Pemerintah melalui pemerintah Kecamatan (Forkopincam) Amanuban selatan membuat Berita Acara Kesepakatan bersama dengan warga yang disebut warga liar dimaksud yang terhimpun dalam Dewan Adat ITA PKK-Pubabu- Besipa’E. Bahwa mereka bersedia dan memperbolehkan Pembangunan Jaringan Listrik melalui wilayah Hutan Adat Pubabu (terlampir) sepanjang tidak merusak hutan dan tidak menebang hutan sehingga Pemerintah menyetujuinya. Sikap Pemerintah yang sebentar mengakui dan sebentar menyangkali eksistensi masyarakat di Besipa’E ini adalah
sikap yang tidak dewasa dan mengada-ada;

2. Bahwa sesungguhnya Hutan Adat (Kio) Pubabu sejak dahulu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kerajaan Amanuban. Bahwa Sejarah penetapan seluruh Kio-Kio (seluruh
hutan-hutan Adat) di pelosok Amanuban adalah atas penetapan dan keputusan raja Amanuban, bukan oleh orang perorang. Bahkan untuk memindahkan batas saja harus dengan persetujuan Raja
Amanuban di Niki-Niki. Sebagai contoh, pada tahun 1932 untuk Kio Pubabu sendiri beberapa anggota keluarga yaitu diantaranya Boimau, Baunsele dan Nome yang menetap di pinggiran Kio Pubabu dan karena penduduk semakin bertambah maka mereka memohon agar batas Kio Pubabu digeser.

Muke Nome dan Keluarga Baunsele membawa 25 perak kepada Temukung Pollo (Liukole Nabuasa) dan uang perak ini dibawa ke Sonaf Niki-Niki untuk meminta kepada Raja Amanuban saat itu Usi Pina (Pa’E Nope) agar batas Kio dipindah sesuai permintaan masyarakat bagi ruang hidup mereka maka Raja Amanuban Pa’E Nope (atau Usi Pina) turun lalu memindahkan batas Kio Pubabu dan disaksikan oleh seluruh masyarakat sekitarnya serta seorang pejabat Belanda (video
kesaksian masyarakat terlampir). Bukti tumpukan batupun masih ada sampai detik ini;



Editor : Sefnat Besie

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network