Sementara itu Meo Naek Obaja Soinbala dari Desa Napi, Kecamatan Fatumolo yang ditunjuk sebagai Koordinator mengiyakan Meo Agus Fallo bahwa SK yang mengklaim tanah rakyat ini harus segera dicabut.
Sedangkan tokoh muda, Akris Busi dari Desa Bileon, Kecamatan Fatumolo yang juga hadir dalam rapat di Sonaf ini mengatakan jikalau semua tanah diklaim kementrian maka masyarakat tidak akan lagi mempunyai tempat tinggal.
" Kalau semua tanah milik kehutanan maka kami tinggal dimana? Jadi kami akan lawan," tegasnya.
Pernyataan itu didukung oleh Erihorif Naitboho dari Desa Fatukopa yang mengatakan “kita pi Bupati ju sama sa… beliau malah dukung Kehutanan,” lanjut Naitboho.
Ibrahim Tobe, tokoh Adat desa Besleu dan Bileon menegaskan menilai bahwa tindakan kehutanan ini sudah keterlaluan “keluarga Tobe adalah Anaamnes dan sebagai pemegang mandat Koa Metan dari Raja Amanuban selama ratusan tahun ini tidak akan tinggal diam. Kami akan melindungi hak-hak para Kolo Manu di daerah kami, ” ujarnya.
“Dalam surat ini kami menjelaskan panjang lebar bahwa penerapan hukum Agraria pada zaman Kolonial sangat berbeda konteksnya di daerah lain. Daerah yang langsung dibawah Penjajah itu diterapkan hukum Domein Verklaring sedangkan di kerajaan Mollo dan Amanuban adalah Zelfbestuuren. Jadi mengenai ini Pemerintah harus tahu perbedaannya supaya jangan menyesatkan rakyat," jelas Naimnuke Pina Ope Nope.
“Begitu juga undang-undang kehutanan nomor 41 tahun 1999 yang memberikan keluasan bagi Pemerintah untuk menetapkan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan menambah rumit persoalan ini," tandas Eximus Tse.
Rapat inipun ditutup dengan doa bersama bagi kesejahteraan masyarakat Timor Tengah Selatan terutama masyarakat Amanuban.(*)
Editor : Sefnat Besie