KEFAMENANU, iNewsTTU.id - Pagi itu, Sabtu 3 Mei 2025, Alun-Alun Kantor Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) berubah menjadi lautan manusia.
Meski sang surya tertutup rapat di balik awan, namun di bawahnya ribuan warga dari berbagai kalangan usia berkumpul, berolahraga, tertawa hingga berjualan.
Bukan momen biasa. Ini adalah awal dari gebrakan baru untuk menyalakan bara ekonomi di tengah sejuknya pagi: Car Free Day (CFD).
Di tengah keramaian itu, tampak Bupati TTU, Yosep Falentinus Delasalle Kebo, melangkah mantap menyapa warga. Dengan senyum lebar dan sorot mata penuh semangat, ia membuka secara resmi CFD perdana yang digelar di jantung kota kecil itu. Bukan sekadar simbolik, melainkan sebuah gebrakan baru di tengah efisiensi anggaran.
“Pertumbuhan ekonomi kita saat ini baru 3,60 persen. Itu sangat menyedihkan. Kita tidak bisa tinggal diam. Maka CFD ini kami hidupkan, agar aktivitas jual beli dan UMKM bisa bergerak.” ucap lugas Bupati pasangan Wakil Bupati TTU, Kamilus Elu ini.
Alun-alun sebagai Detak Ekonomi
CFD bukanlah hal baru di Indonesia. Namun di TTU yang merupakan sebuah kabupaten di perbatasan negara RI-RDTL, ide ini disulap menjadi strategi. Di antara stand-stand kecil, ibu-ibu menjajakan kue tradisional, anak muda menawarkan kopi lokal, dan para perajin menampilkan hasil tangan mereka dengan bangga.
CFD menjadi napas baru bagi pelaku UMKM yang selama ini hanya berharap pada pasar mingguan atau even-even musiman. Sekarang, mereka memiliki panggung rutin setiap sabtu di pusat kota dengan dukungan penuh pemerintah.
Dolar dari Perbatasan
Tak berhenti di situ. Bupati Falen Kebo juga memutar arah pandang: dari pusat kota ke batas negeri. Ia meluncurkan gagasan “Pasar Tangkap Dolar" sebuah konsep yang terdengar asing namun sarat potensi.
Di wilayah perbatasan seperti PLBN Napan dan Wini, yang berbatasan langsung dengan Oecusse (Timor Leste), Pemkab TTU merancang sistem perdagangan berbasis dolar. Produk-produk lokal akan dijual kepada warga Timor Leste menggunakan mata uang asing, tanpa prosedur penukaran yang rumit.
“Pasar tangkap dolar ini kami gagas karena harga dolar naik hingga Rp 19.000. Peluang ini harus kita manfaatkan untuk menjual produk lokal dengan mata uang asing, terutama kepada pembeli dari Timor Leste. Ini bisa menjadi sumber devisa bagi masyarakat TTU,” jelasnya.
Dengan sistem ini, maka pemerntah ingin meminimalkan praktik penyelundupan yang selama ini marak di perbatasan. Di saat yang sama, pasar resmi berbasis valuta asing ini akan menjadi ruang legal yang memberdayakan warga dan membuka akses pada perdagangan internasional dalam skala mikro.
CFD sebagai Budaya Baru
Namun, di balik hitungan ekonomi dan strategi perdagangan, ada semangat lain yang ingin dibangun: kebersamaan. CFD juga didesain sebagai ruang rekreasi dan edukasi. Dengan diberlakukannya sistem sekolah lima hari, akhir pekan menjadi waktu berharga untuk keluarga.
Anak-anak berlarian mengejar balon, orang tua duduk menikmati kopi, remaja berkumpul di arena komunitas. Di sinilah ruang publik kembali bermakna tidak hanya sebagai tempat berkumpul, tetapi tempat membangun kesadaran baru bahwa ekonomi bisa dimulai dari kebiasaan, dari interaksi, dari komunitas. "Ini bukan soal seremoni,” tegas Falent di penghujung wawancara.
“Kami ingin CFD menjadi habit, menjadi budaya baru masyarakat TTU yang sadar akan pentingnya ruang publik dan ekonomi berbasis komunitas.” ujar Bupati Falen.
TTU Menolak Diam
Timor Tengah Utara mungkin jauh dari pusat kekuasaan. Tapi lewat langkah-langkah ini, mereka menunjukkan bahwa inovasi tak harus datang dari kota besar. Bahwa pembangunan tak harus mahal, tapi harus relevan, kontekstual, dan berpihak pada rakyat kecil.
Dari alun-alun Kefamenanu hingga perbatasan Napan, TTU sedang bergerak. Perlahan tapi pasti, dari akar rumput. Dari tangan-tangan yang menjajakan harapan dalam bentuk kue, kopi, dan kerajinan lokal. Dari tawa anak-anak yang bermain di jalanan tanpa kendaraan. Dan dari seorang pemimpin yang memilih turun ke lapangan, bukan sekadar duduk di balik meja.
Editor : Sefnat Besie