OPINI: Pinjaman Daerah, Solusi atau Masalah?

Fabianus Benge
Andre Koreh Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT.Foto: istimewa

Oleh : Andre Koreh
Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT
Dekan FT UCB Kupang
Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi UCB.


PEMERINTAH melalui berbagai regulasi baik UU, maupun PP memberi ruang kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman daerah dalam menyediakan berbagai kebutuhan pembangunan daerah termasuk menyediakan infrastruktur , manakala PAD ( Pendapatan Aseli Daeah ) dan pendapatan transfer ( Dana Bagi Hasil ) tidak dapat memenuhi peningkatan kebutuhan dana (fiscal needs) untuk melayani masyarakat.
        
Atas dasar inilah Pemda NTT dan beberapa Pemerintah Kabupaten di NTT dalam 3-4 tahun terakhir mengajukan pinjaman jangka panjang melalui PT SMI ( PT. Sarana Multi Infrastruktur / BUMN dibawah Kementrian Keuangan RI untuk membiayai infrastruktur daerah melalui pinjaman daerah ) dalam bentuk dana PEN ( Pemulihan  Ekonomi Nasional ) sebesar kurang lebih Rp1 T dan melalui PT. Bank NTT sebesar Rp150 M, untuk membangun jalan, embung, irigasi, air minum dll.  
         
Tentunya untuk mendapatkan pinjaman, Pemda NTT telah memenuhi prinsip- prinsip dasar  pemberian Pinjaman Daerah antara lain : Pinjaman Daerah harus dari inisiatif PemDa dalam rangka melaksanakan kewenangannya, Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang, digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan/atau  kekurangan kas, PemDa dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, Pinjaman daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman dan PemDa sebagai penerima pinjaman yang dituangkan dalam perjanjian pinjaman, Pendapatan daerah dan barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah, Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah dan Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD.
          
Namun  ada pula  Prinsip Umum yang tidak kalah pentingnya dalam mengelola Pinjaman Daerah yaitu :  Taat pada peraturan perundang-undangan, Transparan , Akuntabel , Efisien, Efektif dan Hati-hati yang diamanatkan oleh regulasi mengenai pinjaman daerah.


         
Untuk mendapatkan pinjaman daerah terdapat 4 syarat teknis yang wajib dipenuhi :

PERTAMA : Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.

KEDUA : Memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima) dimana DSCR = (PAD + (DBH – DBHDR) + DAU) – BW ) dibagi : Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain.  

KETIGA : Dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah harus tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.

KEEMPAT  : Khusus untuk Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan dari DPRD.
          
Berdasarkan  syarat pinjaman diatas patut dicermati  prinsip umum pengelolaan pinjaman daerah yaitu transparan , akuntabel, efisien, efektif  dan hati hati . Syarat ini  hendaknya dimaknai lebih dari sekedar prasyarat untuk  mendapatkan pinjaman semata tapi justru sebagai kompas penunjuk arah kemana pinjaman ini digunakan.

Pertanyaannya, apakah pinjaman itu telah dikelola secara transparan dan akuntabel? Dan  apakah pemanfaatan anggaran pinjaman ini telah dibelanjakan  secara efektif dan efisien serta hati hati sebagaimana disyaratkan ?
         
Melihat  prasyarat tentang rasio kemampuan pengembalian pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio   DCSR ) minimal sama atau lebih besar dari 2,5. Maka dengan sederhana  dapat diartikan bahwa setiap Rp1, ( satu rupiah ) hutang  yang berupa angsuran pokok bunga dan biaya lainnya dilunasi dengan pendapatan daerah Rp2,5 ( dua setengah rupiah ) dimana DCSR adalah nilai ambang batas Pemda melakukan pinjaman.
          
Tentunya Pemda NTT pun sudah memenuhi syarat minimum ini, setidaknya terbukti  dana Pinjaman  Daerah sudah di setujui pemerintah pusat , namun pertanyaannya apakah asumsi penerimaan PAD  sebagai faktor dominan dalam perhitungan kemampuan pembayaran pinjaman sesuai rumus DCSR dalam tahun berjalan , terealisasi sesuai  rencana ?

Sayangnya data realisasi  PAD NTT sejak 2020- 2023 selalu tidak mencapai target, rata rata capaian +/- 80% pertahunnya. Penyebabnya bisa saja target  PAD sengaja diasumsikan  tinggi , agar ratio DCSR mencapai 2,5 sehingga  layak mendapatkan pinjaman dengan nilai Rp1 T, atau kurangnya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah dan berbagai faktor lainnya.  
         
Beberapa  waktu lalu media memberitakan menurunnya kondisi  jalan mantap di  Provinsi NTT  dari 85,22 %  ( pada tahun 2022) , turun drastis menjadi 72,23% % ( pada tahun 2023 ) dari total panjang jalan Provinsi : 2680 km. Artinya terjadi penurunan daya layan jalan sebesar 12,99% ( 348,14 km  ) hanya dalam waktu 1 tahun, justru di saat biaya untuk membangun jalan provinsi melalui pinjaman daerah naik sangat signifikan. Ini anomali yang mengindikasikan  adanya kebijakan pembelanjaan yang tidak tepat dalam memanfaatkan  pinjaman daerah. Tentunya jawaban pasti mengenai hal ini perlu kajian dan penelitian yang komprehenship bahkan audit menyeluruh terhadap fenomena ini.


         
Namun secara normatif , fenomena  kerusakan dini pada pembangunan jalan Provinsi yang menyedot fiskal daerah terbesar untuk kewajiban membayar pinjaman, dimana jalan yang sudah terbangun  mengalami kerusakan dini sepanjang 348,14  km atau menurun drastis sebesar 12,99 % dalam waktu hanya 1 tahun memberi dampak serius.

Antara lain terganggunya distribusi barang dan jasa dari dan ke pusat produksi , sehingga memberi  efek domino pada menurunnya PAD , mengganggu fiskal daerah yang pada gilirannya berakibat menurunnya kemampuan Pemda NTT membayar kewajiban cicilan dan pokok pinjaman daerah atau bahkan bisa berakibat terjadinya tunggakan.  
           
Dan jika terjadi tunggakan maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 121/PMK.07/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah akan dilakukan Pemotongan DAU dan/atau DBH secara langsung oleh Pemeritntah Pusat .

Hal ini tentunya sangat mengganggu cashflow Pemda dalam membiayai aktifitas pelayanan publik lainnya.
            
Kondisi kerusakan dini jalan Provinsi seperti diatas dapat terjadi dalam 3 tahapan pembangunan, yakni Tahap Perencanaan , Tahap Pelaksanaan dan Tahap Pemeliharaan .

Pada tahapan perencanaan ; Pendekatan perencaaan yang digunakan adalah untuk pencapaian target janji politik kepala daerah yakni kondisi jalan Provinsi harus dalam kondisi mantap 100 % dalam 3 tahun. Dan karena anggaran terbatas, pilihan konstruksi yang diambil adalah Grading Operatian / GO ( perbaiki lapis permukaan jalan dengan hamparan  pasir dan batu/ sirtu ) agar mencapai target panjang, asal dapat dilalui kendaraan dengan  kecepatan rendah sampai sedang.  Pilihan konstruksi jenis ini boleh saja dilakukan dengan catatan pada tahun anggaran berikutnya harus segera diikuti dengan penutupan lapis permukaan ( overlay) dengan lapis permukaan beraspal yang permanent. Jika tidak dilakukan , hampir pasti umur rencana tidak tercapai dan jalan dengan konstruski GO akan mudah rusak dimana kondisinya kembali seperti belum pernah ditangani alias kondisinya kembali 0 %.

Inilah dugaan sebagai faktor utama yang mengakibatkan 348,14 km kondisi jalan cepat berubah menjadi rusak walau baru 1 thn dikerjakan. Biasanya  segmen GO ini tidak terlalu panjang agar tahun berikutnya  segera di overlay. Namun jika kebijakannya untuk kejar target panjang maka, membiarkan jalan dengan konstruksi GO dalam waktu panjang sangat berisiko menjadi rusak total.

Jika data diatas benar dan valid , mengacu pada kondisi jalan Propinsi mantap eksisting pada thn 2019 yaitu 65%. Maka selama 4-5 thn hanya terjadi kenaikan  kondisi mantap 8% saja. Artinya tidak ada kenaikan kondisi jalan mantap yg signifikan selama 5 thn. Karena tanpa pinjaman pun. Capaian 8-10 % untuk 5 tahun bisa dicapai tanpa pinjaman. Hitungan sederhananya , jika tiap tahun dibangun rata-rata 3 Km/ thn untuk tiap kab kota ( kebijakan saat penulis menjadi Kadis PUPR 2009-2019) , maka di 22 kab kota akan ada 3 Km / kab = 66 km / tahun menggunakan  dana DAU dan DAK saja ( tanpa pinjaman ) , akan ada jalan mantap baru sebanyak 366 Km selama 5 tahun.  Angka ini berarti ada kenaikan 13.4 %. Sehingga akan ada jalan provinsi mantap pada 2024 adalah 78.4 %.  

Bandingkan dengan laporan Dinas PUPR pada 2024, jalan provinsi  mantap justru hanya 72,23 %.  Padahal ada dana pinjaman yang membebani Pemda NTT sampai 2028 dengan beban cicilan 6,5 %/thn = Rp. 200 M/ thn. Artinya kebijakan pinjaman daerah dengan hasil “ hanya “ 8 % jalan mantap tentu lebih buruk dibanding tanpa pinjaman namun jalan mantap bisa naik 13.4 %.  
        
Hal lain dalam tahap perencanaan , pemilihan ruas jalan prioritas pun tidak mempertimbangkan  asas manfaat secara cermat, dimana  ruas jalan yang dibangun tidak memberi kontribusi peningkatan PAD secara signifikan karena tidak dibangun jalan yang menghubungkan kantong- kantong produksi dengan pusat pemasaran. Yang terjadi justru penentuan ruas jalan prioritas berorientasi pada lokasi keberadaan AMP ( Asphalt Mixing Plant ) milik penyedia jasa  ( kontraktor ) . Dimana lokasi AMP berada, ruas jalan di sekitar itulah yang dikerjakan , sehingga dengan mudah ditebak siapa yang akan mengerjakan proyek tersebut walau proses pelelangan  belum dilaksanakan.

Pada tahap pelaksanaan ; potensi kerusakan terjadi secara siginifikan, dimana para penyedia jasa cenderung mengejar profit maksimal, apalagi hanya dengan mengerjakan GO, karena lebih banyak menggunakan bahan lokal atau bahan setempat ( sirtu ), lemah dalam pengawasan, monitoring dan evaluasi ( monev) yang kurang karena terbatasnya biaya monev. Apalagi jika penyedia jasa ( kontraktor) sudah dibebani kewajiban “non formal” di awal, sebagai konsesi dari kondisi “sudah tahu“ akan mengerjakan proyek tertentu  atau minimal “ sudah tahu”  akan menang lelang  pada saat proses pelelangan.   

Pada tahap pemeliharaan ; tahapan ini juga berkontribusi terjadinya kerusakan dini pada hampir semua ruas jalan Provinsi, dimana alokasi dana pemeliharaan jalan, baik pemeliharaan rutin maupun berkala sangat sedikit atau bahkan kadang tidak teralokasi sama sekali.
         
Untuk memperbaiki agar kondisi jalan kembali mantap  83 % , apalagi untuk mencapai kondisi mantap  100%, biayanya tidak sedikit. Baik untuk membangun baru ataupun untuk memelihara yang sudah terbangun. Jika kebijakan penggunaan anggaran pinjaman masih  seperti diatas, ibarat    berjalan diatas treadmil karena bergerak lelah tapi tak pernah sampai tujuan.  
        
Dari uraian diatas, pinjaman daerah yang diharapkan menjadi solusi atas berbagai keterbatasan anggaran pembangunan di NTT,  jika kebijakan penggunaan anggaran yang dipilih lebih pada pendekatan pencapaian target politik semata , dan berorientasi “ tahu sama tahu”,  tanpa mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan hanya untuk memenuhi keinginan dan bukan karena kebutuhan wilayah,  maka pinjaman daerah berubah secara pelan dan pasti dari seolah akan menjadi solusi tapi sebenarnya menjadi masalah. Dengan kata lain pinjaman daerah adalah hutang konsumtif karena belanjanya tidak produktif .  

Ditambah pilihan teknis pembangunan jalan Provinsi yang kurang cermat dan hati- hati, dengan orientasi asal ada proyek , belanjanya tidak efektif dan sama sekali tidak efisien dengan akuntabilitas rendah , justru menambah beban persoalan anggaran di Pemda NTT dan dapat dinilai telah mengabaikan prinsip umum dan mendasar dalam  mengelola  pinjaman daerah sebagaimana yang diamanatkan regulasi.

Dampak ikutannya adalah fiskal daerah pasti terganggu, belanja publik lainnya tidak maksimal , dan jika terjadi tunggakan pembayaran cicilan, maka  DAU dan DBH dipotong secara langsung pada tahun anggaran berikutnya. Hal ini menambah turbulensi dalam politik anggaran di Pemda NTT ke depan.
        
Solusi dari hal ini  sebenarnya  klasik dan sederhana yakni, bagaimana menaikkan PAD secara signifikan, kurangi belanja konsumtif , ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan daerah , tekan peluang dan potensi kebocoran penerimaaan , ciptakan  iklim investasi yang kondusif , persaingan usaha yang sehat dan transparan, tingkatkan sektor produksi dan penghematan di semua lini tanpa mengurangi kesejahteraan dan  hak- hak ASN , namun tempatkan ASN sesuai kompentensi dan profesionalisme mereka dengan pendekatan  “ the right man on the right place “ karena mereka sebagai agen pembangunan dan agen perubahan, hindari pendekatan jabatan “ like and dislike “.

Dibutuhkan komitmen pemimpin yang kuat dengan “ semangat memberi dan bukan mengambil “ namun fokus pada solusi yang tepat  untuk mengatasi ini , tidak sekedar jargon semata.

Pinjaman Daerah itu baik dan solutif jika digunakan secara baik dan benar.  Sebaliknya pinjaman ini akan menjadi masalah jika kurang hati hati , ceroboh dan tanpa perhitungan yang matang serta kurang cermat dalam pembelanjaannya.

Editor : Sefnat Besie

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network