Kasus Penelantaran Istri dan Anak oleh Anggota DPRD Kota Kupang Mandek, Diduga Ada Intervensi
KUPANG,iNewsTTU.id-- Penanganan kasus dugaan penelantaran istri dan anak yang menyeret nama anggota DPRD Kota Kupang, Mokrianus Imanuel Lay, kian menuai sorotan. Proses hukum dinilai berjalan lamban, berlarut-larut, dan penuh kejanggalan.
Kasus ini sejatinya sudah bergulir sejak November 2023. Penyidik Ditreskrimum Polda NTT bahkan telah menetapkan Mokrianus sebagai tersangka berdasarkan LP/B/374/XI/2023/SPKT/Polda NTT tertanggal 2 November 2023. Sejumlah saksi sudah diperiksa, ahli hukum pidana sudah dimintai keterangan, korban dan anak-anaknya pun telah menjalani pemeriksaan psikolog sebanyak dua kali.
Namun, hingga kini kasus tak kunjung tuntas. Situasi ini menimbulkan dugaan adanya intervensi yang membuat aparat penegak hukum gamang menuntaskan perkara.
Kasi Penerangan Hukum Kejati NTT, A.A. Raka Putra Dharmana, mengakui berkas perkara telah dikirim ulang oleh penyidik sejak Kamis pekan lalu. “Berkas perkara sudah masuk, saat ini masih diteliti kembali,” ujarnya.
Korban Melawan Ketidakadilan
Korban, Anggi Widodo, menyatakan kekecewaannya. Ia menilai proses hukum ini penuh hambatan yang justru semakin menekan dirinya dan anak-anak. Bahkan, ia terpaksa melayangkan surat pengaduan ke berbagai lembaga, mulai dari Kejati NTT, Jaksa Agung RI, Komisi III DPR RI, Komnas HAM, Kementerian PPPA, Komisi Kejaksaan RI, LPSK, hingga Kapolri.
Salah satu poin keberatannya ialah petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengembalikan berkas perkara (P-19) dengan alasan harus ada Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) dari psikiater forensik di Bali.
“Sebagai ibu rumah tangga tanpa penghasilan dengan dua anak sekolah, saya sangat keberatan. Pemeriksaan di Bali membutuhkan biaya besar, sementara kami sudah tidak memiliki apa-apa karena ditelantarkan suami,” tulis Anggi dalam surat pengaduan yang diterima redaksi.
Ia menilai permintaan jaksa itu tidak masuk akal dan justru menghambat jalannya proses hukum.
Anggi dengan tegas meminta Kejati NTT untuk:
“Kami merasa diperlakukan tidak adil, seolah hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Penderitaan kami nyata, tapi justru kami yang dibebani. Apa karena kami rakyat kecil, tak punya harta dan jabatan?” ungkapnya getir.
Jaksa Ditantang Tegakkan Hukum Tanpa Tebang Pilih
Kasus ini semakin memantik pertanyaan: apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan tanpa pandang bulu di NTT?
Anggi berharap Kejati NTT tetap profesional dan tidak tebang pilih. “Semoga jaksa menjunjung tinggi hukum, karena yang kami harapkan hanyalah keadilan untuk saya dan anak-anak,” tutup Anggi.
Editor : Sefnat Besie