KUPANG,iNewsTTU.id-- Anggota DPRD Kota Kupang, Mokrianus Imanuel Lay alias Mokris, akhirnya memenuhi panggilan penyidik Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda NTT, Selasa (12/8/2025). Politikus Partai Hanura itu diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan penelantaran istri dan dua anaknya.
Mokris tiba di Markas Ditreskrimum Polda NTT sekitar pukul 15.15 Wita. Dengan mengenakan kemeja biru muda, celana levis, sepatu putih, kacamata hitam, dan tas kecil, ia memilih bungkam saat dicecar pertanyaan wartawan, hanya tersenyum lalu berjalan menuju lantai dua untuk menjalani pemeriksaan.
Pengacaranya, Rian Kapitan, mengakui bahwa pemeriksaan hari itu resmi dilakukan dengan status tersangka. “Iya, hari ini saya mendampingi Mokris yang diperiksa sebagai tersangka. Pertanyaan yang diajukan pun tidak jauh berbeda dari pemeriksaan sebelumnya,” kata Rian.
Pemeriksaan berlangsung sekitar tiga jam. Namun, usai diperiksa, Mokris tidak ditahan oleh penyidik. Menurut Rian, keputusan tersebut tepat karena tidak ada alasan kuat untuk menahan kliennya. “Penahanan itu tidak wajib. Klien saya tidak mungkin melarikan diri, apalagi dia seorang anggota DPRD yang punya tugas publik,” ujarnya.
Rian menegaskan, Mokris bersikap kooperatif dan telah menyerahkan seluruh bukti yang diminta penyidik. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua barang bukti sudah di tangan penyidik,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, Kombes Patar Silalahi, membenarkan bahwa Mokris hadir sesuai jadwal pemanggilan dan didampingi empat kuasa hukum. Namun, saat ditanya mengenai penahanan, Patar hanya menjawab singkat. “Proses pemeriksaan sedang berlangsung, itu dulu ya,” ujarnya sebelum berlalu.
Kasus ini sebelumnya mencuat setelah Polda NTT menetapkan Mokris sebagai tersangka pada Rabu (6/8/2025), usai gelar perkara. Dugaan penelantaran terhadap istri dan dua anaknya membuat publik mempertanyakan integritas seorang wakil rakyat yang seharusnya memberi teladan, bukan justru menjadi contoh buruk dalam urusan rumah tangga.
Meski proses hukum masih berjalan, keputusan tidak menahan tersangka yang berstatus pejabat publik sering memicu sorotan. Pertanyaannya, apakah hukum akan benar-benar berjalan setara bagi semua orang, atau kembali memberi ruang istimewa bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan?
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait