OPINI: Pinjaman Daerah, Solusi atau Masalah?

Fabianus Benge
Andre Koreh Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT.Foto: istimewa


         
Untuk mendapatkan pinjaman daerah terdapat 4 syarat teknis yang wajib dipenuhi :

PERTAMA : Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.

KEDUA : Memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima) dimana DSCR = (PAD + (DBH – DBHDR) + DAU) – BW ) dibagi : Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain.  

KETIGA : Dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah harus tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.

KEEMPAT  : Khusus untuk Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan dari DPRD.
          
Berdasarkan  syarat pinjaman diatas patut dicermati  prinsip umum pengelolaan pinjaman daerah yaitu transparan , akuntabel, efisien, efektif  dan hati hati . Syarat ini  hendaknya dimaknai lebih dari sekedar prasyarat untuk  mendapatkan pinjaman semata tapi justru sebagai kompas penunjuk arah kemana pinjaman ini digunakan.

Pertanyaannya, apakah pinjaman itu telah dikelola secara transparan dan akuntabel? Dan  apakah pemanfaatan anggaran pinjaman ini telah dibelanjakan  secara efektif dan efisien serta hati hati sebagaimana disyaratkan ?
         
Melihat  prasyarat tentang rasio kemampuan pengembalian pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio   DCSR ) minimal sama atau lebih besar dari 2,5. Maka dengan sederhana  dapat diartikan bahwa setiap Rp1, ( satu rupiah ) hutang  yang berupa angsuran pokok bunga dan biaya lainnya dilunasi dengan pendapatan daerah Rp2,5 ( dua setengah rupiah ) dimana DCSR adalah nilai ambang batas Pemda melakukan pinjaman.
          
Tentunya Pemda NTT pun sudah memenuhi syarat minimum ini, setidaknya terbukti  dana Pinjaman  Daerah sudah di setujui pemerintah pusat , namun pertanyaannya apakah asumsi penerimaan PAD  sebagai faktor dominan dalam perhitungan kemampuan pembayaran pinjaman sesuai rumus DCSR dalam tahun berjalan , terealisasi sesuai  rencana ?

Sayangnya data realisasi  PAD NTT sejak 2020- 2023 selalu tidak mencapai target, rata rata capaian +/- 80% pertahunnya. Penyebabnya bisa saja target  PAD sengaja diasumsikan  tinggi , agar ratio DCSR mencapai 2,5 sehingga  layak mendapatkan pinjaman dengan nilai Rp1 T, atau kurangnya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah dan berbagai faktor lainnya.  
         
Beberapa  waktu lalu media memberitakan menurunnya kondisi  jalan mantap di  Provinsi NTT  dari 85,22 %  ( pada tahun 2022) , turun drastis menjadi 72,23% % ( pada tahun 2023 ) dari total panjang jalan Provinsi : 2680 km. Artinya terjadi penurunan daya layan jalan sebesar 12,99% ( 348,14 km  ) hanya dalam waktu 1 tahun, justru di saat biaya untuk membangun jalan provinsi melalui pinjaman daerah naik sangat signifikan. Ini anomali yang mengindikasikan  adanya kebijakan pembelanjaan yang tidak tepat dalam memanfaatkan  pinjaman daerah. Tentunya jawaban pasti mengenai hal ini perlu kajian dan penelitian yang komprehenship bahkan audit menyeluruh terhadap fenomena ini.

Editor : Sefnat Besie

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network