MONEY POLITIC DI TAHUN POLITIK TRANSAKSIONAL
(Dalam Perspektif Hukum Positif)
Oleh : Melkianus Conterius Seran, S.H., M.H
SALAH satu jebakan besar selalu menghadang pembangunan demokrasi adalah isu politik uang (money politic) yang dapat diperpanjang tanpa akhir. Politik uang adalah riil terjadi di negeri ini tepatnya di tahun politik. Orang mulai sinis dan skeptis dengan mantra demokrasi dan reformasi karena buah yang di tunggu-tunggu dan dijanjikan tak kunjung muncul. Dalam berbagai forum internasional kita acap kali membanggakan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India. Namun di dalam negeri, berbagai kritik dan kekecewaan praktik pemilu yang syarat dengan politik uang dan kecurangan semakin senter terdengar.
Data menunjukan indeks demokrasi kita berada di titik nadir. Hal ini mengindikasikan konsolidasi demokrasi yang kita impikan sejak kejatuhan rezim diktator dari tampuk kekuasaan masih menuai jalan terjal dan berliku. Karena proses pemilu yang masih diwarnai dengan kentalnya budaya politik uang yang secara langsung berdampak menurunya kwalitas adab demokrasi. Setidaknya negeri ini selalu mendapat stigma negativ soal proses pemilu atau yang dianggap rawan dengan politik uang.
Fakta bisa terlihat proses politik pemilihan legislativ, bahkan presiden tak pernah sunyi dari indikasi politik uang. Sehingga proses pemilu yang tengah berjalan menuai masalah dan berakhir dengan keputusan bawaslu karena adanya pelanggaran administrativ, juga berujung ke Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara atau Badan Peradilan Umum.
Pelanggaran administrasi pemilu secara normatif meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan pengelenggaraan pemilu, Dan proses pimilu pun tak jarang berakhir melalui keputusan badan peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilu dan sengketa proses pemilu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara maupun pelanggaran hukum publik atau tindak pidana pemilu melalui badan peradilan umum dalam hal ini Pengadilan Negeri yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pemilu.
NTT merupakan salah satu provinsi yang ikut dalam kontestasi Pemilihan Umum yang akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang. Namun sadar atau tidak sadar perhelatan politik akbar tersebut masih mengisahkan problematika dan menghawatirkan publik NTT. Salah satu masalah yang dicemaskan dan dihawatirkan publik NTT saat ini adalah masalah politik uang (money politic) yang menjadi horor demokrasi dan menciptakan hedonisme politik.
NTT termasuk zona penyelenggaraan Pemilu yang dianggap kebanyakan orang rawan politik uang. Secara kasat mata dalam pelaksaanan Pemilihan Umum sering terjadi kompetisi tidak sehat, melenceng dan bahkan mengotori proses demokrasi. Hal ini dikarenakan proses Pemilu masih disuguhi kecurangan, dan politik uang. Salah satu kecurangan dalam Pemilu adalah praktik politik uang yang mendominasi ruang demokrasi atau lebih tepatnya disebut vote buying yang sulit untuk dipisahkan dari kontestasi Pemilu dari waktu ke waktu yang sudah mengakar dan membudaya.
Praktik jual beli suara ini merupakan masalah klasik yang masih aktual sampai hari ini sudah secara merata di daerah-daerah terutama di daerah yang tingkat stabilitas perekonomian terbaik belum menjangkau masyarakat yang paling dasar. Dan maraknya paraktik politik uang tidak terlepas dari tingkat kesadaran politik yang rendah dari masyarakat pada umumnya. Politik uang merupakan istilah yang digunakan oleh banyak orang Indonesia. Selama ini tidak ada definisi yang jelas mengenai politik uang. Meski demikian politik uang digunakan untuk menerangkan semua jenis praktik koruptif dalam pemilu dari membeli suara atau vote buying hingga kecurangan.
Praktik politik uang bertujuan untuk memengaruhi pemilih untuk melakukan susuatu ataupun tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak si pemberi uang. Oleh karena itu, hemat penulis ada dua spesis politik uang yang mewarnai Pemilu, yaitu, Pertama, politik uang secara langgsung yaitu suatu tindakan langsung memberikan uang kepada pemilih. Kedua, politik uang secara tidak langsung yaitu memberikan barang yang memiliki nilai guna dan nilai tukar yang tinggi.
Penulis melihat ada tiga dimensi yang berkorelasi langsung dengan politik uang yang dianggap dominan, yaitu Pertama, vote buying atau membeli suara. Kedua, vote broker atau kelompok orang yang mewakili paslon untuk membagikan uang/barang. Ketiga, Pemilih dan penyelenggara pemilu yang menjadi sasaran politik uang dimana politik uang merupakan taktik dan trik memberikan uang atau manfaat lainnya kepada pemilih untuk nmendukung kandidat tertentu.
Politik Uang dalam Perspektif Hukum Positif
Secara sederhana politik uang dapat diartikan sebagai cara menggunakan uang secara haram untuk mempengaruhi keputusan tertentu. Artinya uang dijadikan alat untuk memengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan sesuai dengan keinginan si pemberi uang dalam pelaksanaan pemilu. Atau dengan kata lain politik uang merupakan praktik kontra demokrasi. Adapun yang dimaksud dengan Pemilu ialah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memeilih anggota DPRD yang dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
Tentu kita sepakat bahwa sejarah pembentukan dan perkembangan Negara Hukum atau Rechstaat salah satunya bercirikan adanya principle of legality yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-udangan atau biasanya disebut juga nulum delictum nulla poena sine paraevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu). Konsekuensi dari makna ini adalah bahwa penindakan terhadap suatu pelanggaran dan kejahatan pemilu haruslah diatur terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Sehingga dalam implementasi penindakan tidak melanggar hukum, tidak terjadi abuse of authority.
Dalam hukum pidana nasional Indonesia ketentuan hukum yang berkaitan dengan asas legalitas tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang secara tegas menyatakan :“ tiada satu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan’. Ketentuan tersebut sama persis dengan ketentuan hukum asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) wetboek van Strafrecht di Negeri Belanda yang juga secara tegas menyatakan, “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling.
Ketentuan hukum asas legalitas dalam kedua KUHP merujuk pada pasal Code Penal Prancis yang disusun oleh Napolen Bonaparte,“Nulle contravention, nuldelit, nul crime, ne peuvent etre punis de peines gui n’ etaient pasprononcees par la loi avant qu’ils fussent commis” ” yang bermakna tidak ada pelanggaran, tidak ada delik tidak ada kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum diadakan terlebih dahulu.
Dari pengertian asas legalitas tersebut di atas dapat disimpulkan, pertama, Tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa UU sebelumnya. Konsekuensinya adalah ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, Tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa UU tertulis. Konsekuensinya adalah semua ketentuan pidana harus tertulis dengan kata lain, baik perbuatan yang dilarang, maupun pidana yang diancam, terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis secara expressive verbis dalam undang-undang.
Terkait politik uang sudah diatur dalam hukum positif kita sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Dalam pasal 149 KUHPidana sebagai lex generalis aturan umum) yang menyatakan : ayat (1) disebutkan barang siapa pada waktu diadakan pemilu menurut aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjadikan sesuatu, menyuap seseorang supaya dia tidak menggunakan hak pilihnya atau supaya dia menggunakan hak itu dengan cara tertentu, diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan pidana yang sama dikenakan kepada pemilih yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap supaya menggunakan atau tidak menggunakan haknya seperti di atas. Dari pasal ini dapat ditarik suatu konklusi dasar bahwa pemberi dan penerima politik uang sama-sama dikualifikasi sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat diancam dengan hukuman pidana.
Selain itu, politik uang (money politic) juga diatur dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017 sebagai lex specialis (aturan khusus) di sana secara tegas mengatur sanksi pidana politik uang. Dalam hal ini politik uang selain diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga diatur dalam pasal 149 KUHPidana maka penerapan hukumnya berlaku asas “lex specialis derogate legi generalis” yang artinya aturan yang bersifat khusus menyesampingkan aturan yang bersifat umum. Berlandaskan asas tersebut maka hukum yang digunakan untuk menindak pemberi dan penerima politik uang adalah UU No 7 Tahun 2017 sebagai lex specialis.
Dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang sanksi pidana politik uang yang secara tegas di atur dalam pasal 523 ayat 1 sampai dengan ayat 3 yang selengkapnya berbunyi : ayat (1) “Setiap pelaksana peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah”. Ayat (2) menyebutkan “Setiap pelaksana peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak 48 juta rupiah”.
Selanjutnya ayat (3) menyebutkan ”Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah”. Ketentuan pasal ini jelas mengatur 3 (tiga) kategori pidana politik uang yakni pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada saat pemungutan suara. Sanksi pidana politik uang pada masa tenang lebih berat daripada politik uang pada saat kampanye dan pada saat pemungutan suara.
Ketentuan tersebut merupakan hukum materiil yang digunakan sebagai dasar penindakan kepada mereka yang melakukan praktik politik uang dari sisi criminal act dan criminal responsibility. Tentu melalui prosedur hukum yang nantinya akan diuji dan dibuktikan adanya unsur kesengajaan (willens en wetens) yang dilanggar oleh pelakunya. Disini hukum menjadi pelumas mesin dan roda demokrasi agar sistem dan mekanime demokrasi dapat berjalan dengan lancar. Akan tetapi hukum bukan satu-satunyanya instrumen untuk memberantas praktik politik uang.
Penindakan dari sisi hukum formil tidak serta merta menyikis habis paraktik politik uang. Untuk itu perlu juga dukungan pengawasan partisipasi publik dan tentu konsistensi pengawasan dari pihak pengelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu, dan penguatan kontrol media masa yang independen. Fenomena politik uang dalam Pemilu menjadi lonceng matinya politik bermartabat. Politik bermartabat sejatinya berorientasi kesejahteraan rakyat, namun pragmatisme politik hanya mengatasnamakan rakyat.
Butuh Komitmen bersama
Momentum Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang perlu dikawal oleh semua lapisan masyarakat, pemerintah, penegak hukum, tak terkecuali bawaslu sebagai pengelenggara pemilu dengan independensi terjaga. Untuk lebih mengawasi proses demokrasi ini secara sehat, dan hati-hati. Demikian pula di tingkat elektorat secara serentak menebarkan politik yang berkualitas, berintegritas dan bermartabat sebagai paket demokrasi.
Yang pada ujungnya nanti akan melahirkan pemimpin yang berkwalitas dan peka kesejahteraan rakyat, melahirkan pemimpin yang kasatria, bukan pecundang, pialang, makelar apalagi juragan. Kasatria politik berani mengambil resiko atas tugas-tugas atas amanah rakyat yang diemban. Ia tidak memilah dan memilih tugas dan pertimbangan yang enak dan tidak enak, populer dan tidak populer. Satu-satunya pertimbangan, amanah yang digariskan konstitusi bukan cari pujian konstituen tertentu.
NTT diharapkan tumbuh tidak hanya menjadi wilayah kokoh dan estetik demokratis, tetapi juga menjadi daerah yang menerapkan paket tersebut. Tugas kita menebarkan sikap optimisme dan komitmen bersama dalam menyikapi persoaalan kerawanan politik uang di NTT. Komitmen bersama untuk memperkecil ruang gerak pelanggaran praktik politik uang. Dengan cara pendidikan politik kepada masyarakat, membangun pengawasan yang bertumpu pada sikap dan tindakan proaktif dalam menjalankan kegiatan pengawasan pemilu dan bersikap responsiv terhadap dugaan pelanggaran pemilu dan menguatkan budaya anti politik uang yang menjamah ke setiap plosok-plosok desa serta penindakan pelanggaran dengan cara memperkuat koordinasi guna membangun kesepahaman dengan penegak hukum dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan penanganan pelanggaran pidana pemilu dan menyediakan akses publik untuk memberikan informasi dan melaporkan dugaan praktik politik uang.
Dengan itu maka dapat terpancar wajah adap politik dan adab demokrasi yang kita impikan. Tentu juga dalam jangka panjang giat pemerintah meningkatkan ekonomi kerakyatan dan memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat merupaknan suatu keharusan bukan malah menyorbankan mereka tengelam dalam kemiskinan. Dengan keyakinan niscaya NTT bisa keluar dari kerawanan dan merdeka dari praktik politik uang. Politik uang di tahun politik transaksional dapat menjerumuskan kita pada demokrasi semu bukan substansial maka praktik politik uang harus dihentikan.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait