“Lagi pula seluruh tanah adat Amanuban sudah dibagi habis sejak ratusan tahun lalu ke seluruh Temukung-temukung, meo-meo dan kolo manunya, terus bagaimana bisa kehutanan klaim lagi sebagai kehutanan punya tanah sedangkan peta tahun 1932 yang tadi juga diakui oleh bapak bupati itu hanya titik-titik hutan, kok sekarang jadi suatu kawasan hutan yang luas.
Justru kami beranggapan bahwa Pemerintah Indonesia menggunakan peta penjajah itu sebenarnya sedang mempertentangkan dirinya sendiri dengan Konstitusi Dasar Republik Indonesia UUD 1945 yang menyebut:“bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan," tambah Pina.
Masyarakat Adat Amanuban dalam dialog dengan Komisi II menyampaikan bahwa penetapan kawasan hutan melalui Undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang memberikan keluasan kepada kemntrian Kehutanan untuk menetapkan suatu wilayah yang bukan hutan menjadi kawasan hutan tertuang dalam pasal 4 ayat 2.
Ini juga kemudian terbukti dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.357/Menlhk/ Stjen/PLA.0/5/2016 tanggal 14 Mei 2016 tentang : Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan + 54.163 Ha, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas + 12.168 Ha dan Penujukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas + 11.811 Ha.
“Kata terakhir yang menyebutkan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan itu sangat mengganggu kami. Ini kami cerita pengalaman tahun 1991-1992 datang sekelompok orang yang menanam kebun kami dengan Mahoni dan Gamalin dengan mengatakan ini masuk kawasan hutan.
Kami bertanya sejak kapan karena ini tanah leluhur. malah mereka ambil senapan dan mau tembak ini bapak Tanono” ujar Emu Tse perwakilan dari Desa Nusa kecamatan Kuatnana, sambil menunjuk seorang warga.
Emu Tse lalu melanjutkan “kami perkara didesa sampai propinsi dan pak Piet Tallo yang waktu itu Wakil Gubernur atau Gubernur saya lupa datang bunuh sapi satu ekor dan nyatakan ini sudah jadi tanah rakyat. Ternyata apa? hari ini petugas Kehutanan datang lagi dan klaim lagi, oleh karena itu kami meminta DPRD TTS sebagai interprestasi masyarakat untuk mengusulkan SK Menteri yang menyusahkan rakyat ini dicabut," Tegasnya.
Pada saat bersamaan hadir Kepala UPTD PKH TTS, Frans A.B Fobia yang mengatakan “Dari sisi regulasi bahwa semuanya memang bermula dari peta hutan tahun 1932 lalu didukung oleh berbagai undang-undang dan pemerintah dalam hal ini kehutanan sudah bekerja sesuai aturan yang diamanatkan undang-undang.
Jadi kawasan hutan produksi itu adalah aset negara atau harta milik negara dan bisa juga kemudian diserahkan kembali ke rakyat dalam bentuk hutan rakyat. Bisa juga diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga untuk bisa mengolah hasil yang ada diatas tanah maupun yang ada dibawah tanahnya bagi kepentingan negara.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait