SABU RAIJUA,iNewsTTU.id- Upaya pencegahan dan penanganan terhadap virus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilakukan pada lima kecamatan di Kabupaten Sabu Raijua telah ditempuh lewat abatisasi, fogging, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus dan tindakan medis lainnya.
Secara umum disampaikan bahwa pada Puskesmas Eimadake, Puskesmas Bolou, Puskesmas Eilogo, Puskesmas Daieko dan Puskesmas Seba, kendala yang dihadapi dalam menghadapi kenaikan kasus DBD ialah kekurangan reagen NS1, alat diagnostik yang sangat penting dalam mendeteksi infeksi virus penyebab DBD.
Dalam laporan perkembangan kasus DBD di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2024 terdapat total 479 jumlah kasus DBD dengan total pasien sembuh sejumlah 467 orang, 6 orang pasien rawat inap dan 6 orang meninggal dunia. Per 6 Januari 2025, data terbaru terdapat penambahan jumlah kematian akibat kasus DBD sejumlah 2 orang.
Data Dinas Kesehatan, PP dan Keluarga Berencana Kabupaten Sabu Raijua menunjukkan bahwa Trend Kasus DBD di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2021-2024 dengan jumlah kasus per tahun 2021 sebanyak 72 kasus, tahun 2022 sebanyak 64 kasus, tahun 2023 55 kasus dan lonjakan kasus pada tahun 2024 ada di angka 479 kasus.
Kepala Dinas Kesehatan, PP dan Keluarga Berencana Kabupaten Sabu Raijua, Thobias Jusuf Messakh, dalam rapat kerja Komisi III DPRD Kabupaten Sabu Raijua, menjelaskan bahwa peningkatan jumlah kasus yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya sehingga secara struktur anggaran dalam memenuhi alat tes reagen mengalami kendala. Solusi yang ditawarkan ke pasien ialah rujuk dan penanganan ke tingkat RS.
" Jadi jumlah kasus saat ini lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya sehingga secara struktur anggaran dalam memenuhi alat tes reagen mengalami kendala. Solusi yang ditawarkan ke pasien ialah rujuk dan penanganan ke tingkat Rumah Sakit," ucap Thobias.
Selain itu, peningkatan kasus DBD yang terus terjadi Sabu Raijua membuat pasien yang rujuk ke Kupang terus meningkat.
Dijelaskan Direktur RSUD Menia, dr. Ester Junita Djari, terdapat kendala sepanjang penanganan kasus DBD yakni kekurangan SDM dokter spesialis anak dan dokter umum, juga keterbatasan penyediaan trombosit maupun plasma darah yang tidak tidak bisa kita lakukan di unit transfusi donor darah di sabu.
Hal ini disebabkan oleh surat izin operasional masih tipe Pratama sehingga fasilitas dan peralatan yang terbatas serta kebutuhan yang fluktuatif juga kompleksitas proses pengolahan plasma darah sehingga RSUD Menia belum bisa menghasilkan plasma darah sendiri. Oleh karena itu, kerja sama dengan UTD Provinsi di Kupang menjadi solusi yang lebih efektif dan efisien.
“Untuk mendapatkan dokter spesialis anak, saat ini solusinya adalah sudah tersedia dokter spesialis anak yaitu dr. Woro Indri untuk menjadi konsulen telemedicine pasien-pasien anak di RS sakit maupun di puskesmas“ tambah dr. Ester.
Terhadap persoalan yang dibahas oleh Komisi III, Ketua DPRD, Rae Edin Saputra Manoe Lado mengharapkan kerjasama dinas dengan radio pemerintah daerah untuk memberikan informasi dalam membangun kesadaran masyarakat lewat saluran yang dapat mudah diakses.
Menanggapi penjelasan pemerintah atas pencegahan dan penanganan kasus DBD di Kabupaten Sabu Raijua, Ketua Komisi III, Laurens A. Ratu Wewo, menyampaikan bahwa pemkab telah gagal dalam penanganan wabah DBD.
“Pemerintah telah gagal dalam pencegahan dan tidak siap dalam penanganan kasus DBD di Sabu Raijua“, sebut Laurens.
Dasar pernyataan tersebut lanjut Laurens bertolak dari data embrio kasus yang telah terjadi sejak bulan Maret 2024 berdasarkan penyampaian perwakilan Kepala Puskesmas Eimadake terkait penyebaran kasus DBD. Laurens berpendapat bahwa pemerintah masih belum melakukan pencegahan secara masif dan minim evaluasi terhadap langkah promotif-preventif yang dilakukan.
Laurens menyebut bahwa pemerintah dapat mengambil tindakan dengan melakukan pressure ke bawah untuk mendorong pemerintah desa dan masyarakat lewat koordinasi dengan babinsa dan babinkantibmas dalam mengikuti instruksi Bupati. Ketua Fraksi PKB tersebut menyatakan endemi kasus DBD dapat diputus mata rantai penyebarannya jika disikapi serius oleh pemerintah.
Terhadap penanganan kasus DBD, Komisi III DPRD merekomendasikan kepada pemerintah untuk menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) terhadap peningkatan kasus DBD di Sabu Raijua melalui SK Bupati serta mengidentifikasi seluruh kebutuhan baik SDM maupun alat kesehatan dan segera diadakan. Komisi mendorong pemerintah untuk melakukan komunikasi serius dengen pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sehingga segera mendapat bantuan penempatan dokter spesialis untuk kebutuhan jangka pendek yang dapat ditempuh melalui MoU dengan RS WZ Johanes Kupang atau IDI dan RS Ben Mboi untuk mengirimkan dokter spesialis anak seminggu sekali dengan pembiayaan ditanggung oleh Pemda Sabu Raijua atau melalui koordinasi dengan dokter konsulen telemedicine yang bertanggungjawab dan memiliki kewenangan klinis dalam penanganan pasien anak DBD di Sabu Raijua.
Komisi III juga merekomendasikan pengadaan alat kesehatan yang mendukung terproduksinya plasma darah untuk kebutuhan tranfusi trombosit di RSUD Sabu Raijua untuk kebutuhan jangka panjang dan untuk kebutuhan jangka pendek ditempuh lewat koordinasi dengan pemerintah provinsi untuk mendapat kiriman plasma darah agar angka rujukan ke Kupang dapat ditekan.
Dalam penanganan kasus KLB DBD, pemerintah dapat menggunakan dana BTT dalam kondisi kegawatdaruratan. Ketua Komisi III menyebut bahwa peningkatan kasus yang mencapai 10 kali lipat dibanding tahun sebelumnya memungkinkan secara regulasi untuk penggunaan dana BTT untuk menghadapi kendala pencegahan dan penangangan DBD.
Komisi III DPRD menekankan agar terjalin kolaborasi lintas sektor lewat pelibatan lembaga gereja, masjid, Polri dan TNI dalam penanganan kasus DBD di Sabu Raijua.
Turut hadir dalam rapat kerja tersebut Sekretaris Komisi III, Dominggus Uly Binu, Anggota Komisi III, Markus Tuka dan Donserses Nara Lulu, kepala-kepala Puskesmas di Sabu, anggota Polres Sabu Raijua serta insan pers.
Editor : Sefnat Besie