Jika data diatas benar dan valid , mengacu pada kondisi jalan Propinsi mantap eksisting pada thn 2019 yaitu 65%. Maka selama 4-5 thn hanya terjadi kenaikan kondisi mantap 8% saja. Artinya tidak ada kenaikan kondisi jalan mantap yg signifikan selama 5 thn. Karena tanpa pinjaman pun. Capaian 8-10 % untuk 5 tahun bisa dicapai tanpa pinjaman. Hitungan sederhananya , jika tiap tahun dibangun rata-rata 3 Km/ thn untuk tiap kab kota ( kebijakan saat penulis menjadi Kadis PUPR 2009-2019) , maka di 22 kab kota akan ada 3 Km / kab = 66 km / tahun menggunakan dana DAU dan DAK saja ( tanpa pinjaman ) , akan ada jalan mantap baru sebanyak 366 Km selama 5 tahun. Angka ini berarti ada kenaikan 13.4 %. Sehingga akan ada jalan provinsi mantap pada 2024 adalah 78.4 %.
Bandingkan dengan laporan Dinas PUPR pada 2024, jalan provinsi mantap justru hanya 72,23 %. Padahal ada dana pinjaman yang membebani Pemda NTT sampai 2028 dengan beban cicilan 6,5 %/thn = Rp. 200 M/ thn. Artinya kebijakan pinjaman daerah dengan hasil “ hanya “ 8 % jalan mantap tentu lebih buruk dibanding tanpa pinjaman namun jalan mantap bisa naik 13.4 %.
Hal lain dalam tahap perencanaan , pemilihan ruas jalan prioritas pun tidak mempertimbangkan asas manfaat secara cermat, dimana ruas jalan yang dibangun tidak memberi kontribusi peningkatan PAD secara signifikan karena tidak dibangun jalan yang menghubungkan kantong- kantong produksi dengan pusat pemasaran. Yang terjadi justru penentuan ruas jalan prioritas berorientasi pada lokasi keberadaan AMP ( Asphalt Mixing Plant ) milik penyedia jasa ( kontraktor ) . Dimana lokasi AMP berada, ruas jalan di sekitar itulah yang dikerjakan , sehingga dengan mudah ditebak siapa yang akan mengerjakan proyek tersebut walau proses pelelangan belum dilaksanakan.
Pada tahap pelaksanaan ; potensi kerusakan terjadi secara siginifikan, dimana para penyedia jasa cenderung mengejar profit maksimal, apalagi hanya dengan mengerjakan GO, karena lebih banyak menggunakan bahan lokal atau bahan setempat ( sirtu ), lemah dalam pengawasan, monitoring dan evaluasi ( monev) yang kurang karena terbatasnya biaya monev. Apalagi jika penyedia jasa ( kontraktor) sudah dibebani kewajiban “non formal” di awal, sebagai konsesi dari kondisi “sudah tahu“ akan mengerjakan proyek tertentu atau minimal “ sudah tahu” akan menang lelang pada saat proses pelelangan.
Pada tahap pemeliharaan ; tahapan ini juga berkontribusi terjadinya kerusakan dini pada hampir semua ruas jalan Provinsi, dimana alokasi dana pemeliharaan jalan, baik pemeliharaan rutin maupun berkala sangat sedikit atau bahkan kadang tidak teralokasi sama sekali.
Untuk memperbaiki agar kondisi jalan kembali mantap 83 % , apalagi untuk mencapai kondisi mantap 100%, biayanya tidak sedikit. Baik untuk membangun baru ataupun untuk memelihara yang sudah terbangun. Jika kebijakan penggunaan anggaran pinjaman masih seperti diatas, ibarat berjalan diatas treadmil karena bergerak lelah tapi tak pernah sampai tujuan.
Dari uraian diatas, pinjaman daerah yang diharapkan menjadi solusi atas berbagai keterbatasan anggaran pembangunan di NTT, jika kebijakan penggunaan anggaran yang dipilih lebih pada pendekatan pencapaian target politik semata , dan berorientasi “ tahu sama tahu”, tanpa mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan hanya untuk memenuhi keinginan dan bukan karena kebutuhan wilayah, maka pinjaman daerah berubah secara pelan dan pasti dari seolah akan menjadi solusi tapi sebenarnya menjadi masalah. Dengan kata lain pinjaman daerah adalah hutang konsumtif karena belanjanya tidak produktif .
Ditambah pilihan teknis pembangunan jalan Provinsi yang kurang cermat dan hati- hati, dengan orientasi asal ada proyek , belanjanya tidak efektif dan sama sekali tidak efisien dengan akuntabilitas rendah , justru menambah beban persoalan anggaran di Pemda NTT dan dapat dinilai telah mengabaikan prinsip umum dan mendasar dalam mengelola pinjaman daerah sebagaimana yang diamanatkan regulasi.
Dampak ikutannya adalah fiskal daerah pasti terganggu, belanja publik lainnya tidak maksimal , dan jika terjadi tunggakan pembayaran cicilan, maka DAU dan DBH dipotong secara langsung pada tahun anggaran berikutnya. Hal ini menambah turbulensi dalam politik anggaran di Pemda NTT ke depan.
Solusi dari hal ini sebenarnya klasik dan sederhana yakni, bagaimana menaikkan PAD secara signifikan, kurangi belanja konsumtif , ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan daerah , tekan peluang dan potensi kebocoran penerimaaan , ciptakan iklim investasi yang kondusif , persaingan usaha yang sehat dan transparan, tingkatkan sektor produksi dan penghematan di semua lini tanpa mengurangi kesejahteraan dan hak- hak ASN , namun tempatkan ASN sesuai kompentensi dan profesionalisme mereka dengan pendekatan “ the right man on the right place “ karena mereka sebagai agen pembangunan dan agen perubahan, hindari pendekatan jabatan “ like and dislike “.
Dibutuhkan komitmen pemimpin yang kuat dengan “ semangat memberi dan bukan mengambil “ namun fokus pada solusi yang tepat untuk mengatasi ini , tidak sekedar jargon semata.
Pinjaman Daerah itu baik dan solutif jika digunakan secara baik dan benar. Sebaliknya pinjaman ini akan menjadi masalah jika kurang hati hati , ceroboh dan tanpa perhitungan yang matang serta kurang cermat dalam pembelanjaannya.
Editor : Sefnat Besie