Untuk mendapatkan pinjaman daerah terdapat 4 syarat teknis yang wajib dipenuhi :
PERTAMA : Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.
KEDUA : Memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima) dimana DSCR = (PAD + (DBH – DBHDR) + DAU) – BW ) dibagi : Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain.
KETIGA : Dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah harus tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.
KEEMPAT : Khusus untuk Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan dari DPRD.
Berdasarkan syarat pinjaman diatas patut dicermati prinsip umum pengelolaan pinjaman daerah yaitu transparan , akuntabel, efisien, efektif dan hati hati . Syarat ini hendaknya dimaknai lebih dari sekedar prasyarat untuk mendapatkan pinjaman semata tapi justru sebagai kompas penunjuk arah kemana pinjaman ini digunakan.
Pertanyaannya, apakah pinjaman itu telah dikelola secara transparan dan akuntabel? Dan apakah pemanfaatan anggaran pinjaman ini telah dibelanjakan secara efektif dan efisien serta hati hati sebagaimana disyaratkan ?
Melihat prasyarat tentang rasio kemampuan pengembalian pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio DCSR ) minimal sama atau lebih besar dari 2,5. Maka dengan sederhana dapat diartikan bahwa setiap Rp1, ( satu rupiah ) hutang yang berupa angsuran pokok bunga dan biaya lainnya dilunasi dengan pendapatan daerah Rp2,5 ( dua setengah rupiah ) dimana DCSR adalah nilai ambang batas Pemda melakukan pinjaman.
Tentunya Pemda NTT pun sudah memenuhi syarat minimum ini, setidaknya terbukti dana Pinjaman Daerah sudah di setujui pemerintah pusat , namun pertanyaannya apakah asumsi penerimaan PAD sebagai faktor dominan dalam perhitungan kemampuan pembayaran pinjaman sesuai rumus DCSR dalam tahun berjalan , terealisasi sesuai rencana ?
Sayangnya data realisasi PAD NTT sejak 2020- 2023 selalu tidak mencapai target, rata rata capaian +/- 80% pertahunnya. Penyebabnya bisa saja target PAD sengaja diasumsikan tinggi , agar ratio DCSR mencapai 2,5 sehingga layak mendapatkan pinjaman dengan nilai Rp1 T, atau kurangnya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah dan berbagai faktor lainnya.
Beberapa waktu lalu media memberitakan menurunnya kondisi jalan mantap di Provinsi NTT dari 85,22 % ( pada tahun 2022) , turun drastis menjadi 72,23% % ( pada tahun 2023 ) dari total panjang jalan Provinsi : 2680 km. Artinya terjadi penurunan daya layan jalan sebesar 12,99% ( 348,14 km ) hanya dalam waktu 1 tahun, justru di saat biaya untuk membangun jalan provinsi melalui pinjaman daerah naik sangat signifikan. Ini anomali yang mengindikasikan adanya kebijakan pembelanjaan yang tidak tepat dalam memanfaatkan pinjaman daerah. Tentunya jawaban pasti mengenai hal ini perlu kajian dan penelitian yang komprehenship bahkan audit menyeluruh terhadap fenomena ini.
Editor : Sefnat Besie