KEFAMENANU, iNewsTTU.id – Saling klaim antara Pemerintah Daerah (Pemda) TTU NTT dan masyarakat terkait kepemilikan lahan di kawasan yang berada di Km 8 jurusan Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), memasuki babak baru.
Kekuatiran ini mencuat setelah Pemda TTU melayangkan surat teguran kepada 127 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami area tersebut, meminta mereka mengosongkan lahan. Surat teguran tersebut membuat ratusan KK merasa terusik, meski mereka mengklaim telah memiliki surat tanda kepemilikan yang sah sesuai Undang-Undang.
Menanggapi situasi ini, praktisi hukum Dominikus G. Boymau, S.H., angkat bicara. Ia menegaskan bahwa kekuatan hukum Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki warga jauh lebih kuat dibandingkan peta yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Kronologi dan Letak Objek Sengketa
Objek sengketa ini terletak di Jalan Jurusan Kupang, dengan rincian:
-Bagian kiri: Dari Km 8 hingga SMKN 1 Kefamenanu.
-Bagian kanan: Dari Km 8 hingga Bundaran Km 9, memanjang sampai area PLTU.
Menurut Dominikus, tanah tersebut dulunya merupakan tukar guling antara Pemda TTU dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Lahan ini juga disebut sebagai tanah bersejarah yang pada awalnya dibagi kepada 29 orang berdasarkan peta tahun 1972 hingga 1986.
Seiring waktu, lahan tersebut dibagi lagi kepada 127 KK. Sebagian warga bahkan sudah mendirikan bangunan permanen dan mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah, baik melalui jual beli, hibah, atau program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL/Prona).
Kekuatan Hukum SHM vs Peta Pemda
Kekuatiran menyelimuti warga setempat pasca Pemda TTU melayangkan surat teguran. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai alat bukti mana yang paling kuat di mata hukum.
Dominikus Boymau menekankan, kepemilikan SHM oleh warga memiliki kekuatan hukum yang sah.
"Sertifikat Hak Milik (SHM) memiliki kekuatan hukum tertinggi sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah di Indonesia," tegas Dominikus.
Ia menjelaskan, SHM adalah bukti terkuat dan terpenuh yang diakui negara, berlaku seumur hidup, dapat diwariskan, dan dilindungi oleh hukum selama diterbitkan dengan itikad baik dan tidak cacat hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
"Tentunya dasar hukum yang paling kuat adalah sertifikat hak milik yang dimiliki 127 KK tersebut dibandingkan dengan Pemda yang hanya memiliki peta," ujarnya.
Saran Hukum: Pemda Harus Gugat ke Pengadilan
Menurut Dominikus, meskipun SHM memiliki kekuatan hukum tinggi, sertifikat dapat dibatalkan jika terbukti ada cacat hukum saat penerbitan, terjadi sertifikat ganda, atau alas hak yang tidak sah. Namun, pembatalan ini hanya bisa dilakukan melalui proses hukum di pengadilan.
Ia merinci kondisi yang bisa membatalkan SHM:
1. Cacat hukum saat penerbitan: Jika terbukti sertifikat diterbitkan secara tidak sah, misalnya karena pemalsuan, atau diterbitkan di atas tanah yang masih disengketakan.
2. Sertifikat ganda: Sertifikat yang terbit lebih dahulu memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat.
3.Tidak memiliki "alas hak" yang sah: Jika dasar hukum penerbitan sertifikat tidak otentik dan sah secara normatif.
Oleh karena itu, Dominikus menyarankan agar Pemda TTU tidak bisa serta merta melakukan penyitaan atau penggusuran.
"Pemda harus menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan pembatalan sertifikat kepada 127 KK tersebut. Atas dasar putusan pengadilan barulah Pemda TTU dapat melakukan sita eksekusi terhadap objek yang menjadi sengketa dalam perkara tersebut," jelasnya.
Hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah), 127 KK yang menempati lahan tersebut berhak untuk tetap tinggal dan melakukan aktivitas seperti biasa.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait
