Opini: Darurat Plt atau Plh dan Risiko Hukum di Balik Kekosongan Jabatan Birokrasi di TTU

Sefnat P Besie
Maria Margaretha Alacok Kahlasi, SH., MH Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Cendana Wangi. Foto: Istimewa

Oleh: Maria Margaretha Alacok Kahlasi, SH., MH (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Cendana Wangi)

 

Kekosongan jabatan pimpinan dalam birokrasi, baik di pusat maupun daerah, sering diselesaikan dengan menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) atau Pelaksana Harian (Plh) termasuk di Kabupaten TTU. Mekanisme inidiatur dalam UUNo. 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang sejatinya adalah solusi darurat bersifat temporer.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan, di mana banyak jabatan strategis dipimpin Plt dan Plhyang salah posisi serta berkepanjanganmelampaui batas waktu ideal yakni maksimal 6 bulan (3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan) bagi Plt serta Plh yang paling singkat 3 hari dan paling lama 30 hari seperti yang tertuang dalam PerMenPanRB no. 22/2021 tentang Pola Karier PNS serta SE BKN No l/SE/I/2021 Tentang Kewenangan Plh dan Plt Dalam Aspek Kepegawaian. Praktik ini bukan sekedar masalah administrasi, melainkan juga krisis hukum yang mengancam legitimasi kebijakan publik.

Rantai Cacat Hukum

Masalah Plt/Plh adalah gejala yang terlahir dari tindakan cacat hukum di hulu. Di daerah, termasuk kasus yang mencuat di TTU akhir-akhir ini, penonjoban pejabat definitif diikuti oleh situasi yang campur aduk, yang mana beberapa posisi diisi Plh dan beberapa lainnya diisi Plt.

Secara yuridis, tindakan ini menunjukkan kekacauan prosedur dan pelanggaran Asas Kepastian Hukum. Penempatan Plh (Pelaksana Harian) hanya sah jika pejabat definitif berhalangan SEMENTARA yang artinya JABATAN tersebut TIDAK KOSONG. Sebaliknya, penunjukan Plt (Pelaksana Tugas) hanya dilakukan jika jabatan KOSONG SECARA DEFINITIF (akibat pemberhentian).

Kontradiksi penunjukan Plh setelah penonjoban merupakan kesalahan fatal dan salah kamar, hal ini menunjukkan PPK tidak memahami status hukum jabatan yang sedang diisi. Apapun kombinasinya, tindakan penonjoban cacat prosedur yang mendahului seluruh penunjukan ini adalah akar masalahnya.

Cacat prosedural ini terjadi ketika pemberhentian tidak didahului evaluasi kinerja yang objektif, tanpa rekomendasi instansi pengawas yang sah, atau menggunakan alasan yang tidak didukung norma hukum.KTUN pemberhentian yang melanggar prosedur merupakan cacat formil yang fatal dan menjadikan seluruh KTUN dari Plh maupun Plt di posisi-posisi tersebut berpotensi Batal Demi Hukum karena berakar dari tindakan PPK yang melanggar ketentuan perundang-undangan.

Pelanggaran Batas Waktu

Terlepas dari proses awalnya, jabatan Plt dan Plh secara substantif terikat pada batas Mandat. Jika dirujuk dalam Pasal 58 dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) PerMenPanRB No. 22/2021 tentang Pola Karier PNS serta SE BKN No 1/SE/I/2021,masa jabatan Plh adalah paling singkat 3 (tiga) hari dan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Sedangkan Plt maksimal hanya 6 bulan (3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan).Jika berlarut-larut maka kondisi ini terindikasi pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)khususnya Asas Kepastian Hukum dan Asas Kecermatan serta  Asas Profesionalitas dalam UU ASN.

Krisis legalitas ini menuntut tindakan multi-level yang berorientasi pada pemulihan keadilan dan penguatan kepatuhan normative yang melibatkan korban, pejabat, dan sistem pengawasan.Jalan keluar dan pemulihan keadilan harus dimulai dari inisiatif individu. Bagi Kepala Dinas yang merasa dirugikan akibat penonjoban yang cacat prosedur, langkah hukum yang paling tepat adalah mengajukan Gugatan Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalil utama yang dikedepankan adalah adanya cacat prosedur yang melanggar Undang-Undang ASN dan pelanggaran Asas Kecermatan dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Kemenangan di PTUN menjadi kunci untuk menegakkan Asas Kepastian Hukum dan memulihkan hak kepegawaian secara penuh.

Bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan Pemerintah Daerah, krisis ini menuntut koreksi internal dan kepatuhan absolut terhadap batasan Mandat. Pemda wajib memastikan setiap proses pengosongan jabatan, penonjoban serta pengisian jabatan berjalan sesuai prosedur guna memitigasi risiko gugatan pembatalan.

Secara khusus, PPK harus tunduk pada status hukum jabatan yang hendak diisi serta batasan waktu yang diatur secara eksplisit dalam UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan, Peraturan Menteri PANRB serta SE BKN.

Kepatuhan terhadap aturan ini adalah kunci untuk membenahi tata kelola dan menegakkan Asas Profesionalitas.Sebab hanya dengan penegakan hukum dan kepatuhan normatif yang kuat dari hulu ke hilir, Plt/Plh dapat dikembalikan pada fungsi aslinya sebagai solusi darurat, bukan sumber masalah hukum baru di birokrasi.

Editor : Sefnat Besie

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network