KUPANG,iNewsTTU.id-- Polemik penanganan kasus dugaan pengeroyokan yang melibatkan dua anggota DPR terus menuai sorotan tajam. Kuasa hukum korban, Roni Mixson Naatonis, menuding aparat kepolisian telah “memecah belah” perkara untuk melemahkan substansi hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat.
Advokat Adrianus Sinlae, SH, M.Kn, didampingi tim kuasa hukum lainnya, menyampaikan surat terbuka kepada Kapolri dan Kapolda NTT terkait proses penyidikan kasus ini. “Kami menilai ada praktik yang tidak sehat dalam penanganan perkara. Fakta yang jelas-jelas merupakan pengeroyokan malah dipreteli menjadi penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan. Ini pelemahan hukum yang terang benderang,” tegas Adrianus, Selasa (23/9/2025).
Kuasa hukum merinci kronologi kejadian sebagaimana tertuang dalam laporan polisi Nomor: LP/B/128/VI/2025/SPKT/POLDA NTT, tertanggal 20 Juni 2025.
1. Klien mereka dipukul, ditampar, dan dicengkram hingga mengalami luka lebam serta sakit kepala.
2. Peristiwa itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama, sehingga jelas masuk kategori pengeroyokan sesuai Pasal 170 KUHP.
3. Laporan resmi diterima di Polda NTT dengan konstruksi awal Pasal 170 KUHP.
4. Namun, penyidik justru memecah perkara: satu ditangani Polres Kupang dengan Pasal 351 KUHP (penganiayaan biasa), dan satu tetap di Polda NTT dengan Pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan).
5. Surat keberatan resmi dari kuasa hukum hingga kini tidak mendapat jawaban.
“Ini bukan sekadar soal pasal. Split perkara adalah bentuk manipulasi yang melemahkan posisi korban. Padahal hukum jelas menyebut pengeroyokan harus dilihat sebagai satu delik kolektif, bukan dipecah-pecah sesuai kepentingan,” ujar Odilius Naifatin, SH, anggota tim kuasa hukum.
Seruan kepada Kapolri dan Kapolda NTT
Melalui surat terbuka itu, tim kuasa hukum menyampaikan tiga poin utama:
1. Hentikan praktik pecah perkara yang merugikan korban dan mengaburkan kebenaran.
2. Kembalikan konstruksi perkara pada Pasal 170 KUHP sesuai laporan awal.
3. Buktikan Polri berdiri di atas hukum, bukan tunduk pada tekanan jabatan atau kekuasaan.
“Diamnya penyidik atas keberatan yang kami ajukan adalah bukti nyata pengabaian hak korban. Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap Polri akan semakin tergerus,” tegas Adrianus.
Peringatan untuk Publik
Menurut kuasa hukum, kasus ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan menyangkut marwah hukum di Indonesia.
“Jika seorang pegawai negeri sipil saja bisa diperlakukan seperti ini, bayangkan apa yang akan dialami rakyat kecil. Kami tidak akan diam. Jika suara kami terus diabaikan, persoalan ini akan kami bawa ke ruang publik yang lebih luas,” kata Odilius.
Meski begitu, para advokat masih memberi ruang bagi Polri untuk melakukan koreksi.
“Kami percaya Kapolri dan Kapolda NTT masih bisa mengembalikan kepercayaan publik dengan menegakkan hukum secara benar. Jangan pecah belah keadilan. Jangan biarkan hukum tunduk pada kekuasaan,” tutup Adrianus.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait