KUPANG,iNewsTTU.id- Anak merupakan aset bangsa dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dalam pembangunan, wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Anak harus mendapatkan perlindungan hak-haknya, dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya secara utuh. Dengan demikian, semakin baik kualitas perlindungan anak saat ini, maka akan semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa Indonesia, termasuk masa depan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Anak-anak Indonesia yang berjumlah sepertiga dari total populasi yang ada saat ini, memegang peranan strategis ketika Indonesia genap 100 tahun merdeka di tahun 2045 nanti. Mereka adalah calon pemimpin bangsa ke depan yang diharapkan menjadi generasi emas yang cerdas, sehat, mandiri, unggul, dan berkarakter dengan bersendikan kepada nilai-nilai moral yang kuat.
Menyadari masih banyaknya permasalahan anak di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada khususnya, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu memberikan perhatian khusus pada aspek pemenuhun hak dan perlindungan anak.
Hal inilah yang mendasari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi ( DP3AP2KB) NTT menggelar kegiatan bertajuk Koordinasi dan Sinkronisasi Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Bawah Umur di Hotel Greenia Kupang, Jumat (13/12/2024).
Dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan agar Pemerintah memberikan perlindungan bagi Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK), dimana ada 15 kriteria anak yang harus mendapatkan perlindungan khusus dari negera, diantaranya adalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Sehubungan dengan pentingnya pemenuhan hak anak dan perlindungan bagi AMPK, khususnya ABH, maka perlu dibangun persepsi, komitmen, dan koordinasi antara Lembaga Pemerintah, baik pada aras pemerintah daerah maupun vertikal, Kepolisian, Lembaga Agama, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pusat Pengembangan Anak, dan media serta semua pemangku kepentingan lainnya.
Terkait upaya pemenuhan hak anak dan penanganan AMPK, serta penataan masa depan yang mandiri bagi anak secara cepat, akurat, komprehensif dan terintegrasi, maka Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi NTT, memandang penting untuk melaksanakan kegiatan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak, yang melibatkan para pihak lingkup Daerah Provinsi dan Lintas Kabupaten/Kota, Koordinasi dan Sinkronisasi Pencegahan Kekerasan terhadap anak kewenangan provinsi yang berfokus pada Anak yang Berhadapan dengan Hukum/ABH.
" Maksud kegiatan ini memberikan pemahaman dan menyebarluaskan Informasi dan Edukasi tentang “Pencegahan Kekerasan dan Penanganan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)," ujar Ruth Diana Laiskodat.
Sedangkan tujuan kegiatan ini antara lain meningkatkan pemahaman tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), Meningkatkan pemahaman tentang penanganan Anak yang Berhadapan dengan ukum (ABH) dan Meningkatkan upaya kolaborasi dalam menekan kasus kekerasan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
AKP. Fridinari Kameo dari unit PPA Polda NTT Mengatakan, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
" Syarat diversi antara lain Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana," papar AKP. Iin sapaannya.
Sementara itu Welmince Amnifu, Jaksa Utama Pratama Kejati NTT menambahkan Dalam proses Diversi itu sendiri tentunya ada pihak yang dilibatkan yakni anak, orang tua, korban, dan atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restorative justice yang mengadung arti bahwa penyelesain perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban dan pihak-pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
" Hasil dari kesepakatan diversi ini ada perdamaian berupa dengan atau ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikut sertaan dalam pendidikan/pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS, pelayanan masyarakat. jika kesepakatan tercapai, maka pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi segera terbitkan penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara," jelasnya.
Acara yang dimoderatori oleh France A. Tiran selaku Kabid Khusus Perlindungan Anak ini diakhiri dengan sesi tanya jawab dan pemberian hadiah bagi audience yang berhasil menjawab pertanyaan panitia.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait