NIKI- NIKI,iNewsTTU.id- Bertempat di Sonaf Sonkolo Amanuban Niki-Niki, Kacamatan Amanuban Tengah, Minggu (10/11/2024) telah berlangsung pertemuan yang membahas tentang Penurunan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional.
Lewat rilis pers kepada media ini, Senin (11/11/2024)Pertemuan ini di inisiasi di pimpin oleh Usi Kayetanus Abi, sebagai Ketua dan seorang pemimpin yang menakhodai Forum Sejarah dan Budaya Timor (FSBT).
Ketua FSBT, Usi Kayetanus Abi tolak status Taman Nasional Mutis karena akan merusak alam Timor. Foto : Ist.
FSBT adalah wadah untuk mempersatukan seluruh tokoh-tokoh Adat yang concern dengan isu-isu hak adat mencangkup seluruh daratan pulau Timor termasuk Timor Leste.
Moderator sekaligus tuan rumah rapat adalah Naimnuke Pina Ope Nope yang merupakan salah satu dari Dewan Pendiri FSBT sekaligus anggota komisi Sejarah FSBT dan dihadiri oleh Usif Tafin Oematan dari Sonaf Nunbena Mollo, Amaf Ferry Kase dari Sonaf Netpala Mollo, Amaf Maxi Angket dari Sonaf Bijoba Mollo, dan Usif Bruno Anapah dari Insana TTU.
Hadir juga para Aktivis FMN Kupang (Forum Mahasiswa Nasional), AGRA, IKMABAN (Ikatan Keluarga Besar Mahasiswa asal Amanuban) serta beberapa aktivis lainnya.
"Persoalan Mutis itu sangat urgent, dengan Mutis menjadi Taman Nasional maka itu akan merusak peradaban orang Timor. Ini persoalan bangsa Timor bukan hanya semata-mata negara Indonesia, jadi harus ditolak apapun caranya " demikian tegas Kayetanus Abi.
Rapat bersama tolak status Taman Nasional Mutis karena merusak alam. Foto : Ist.
Sedangkan Usif Adren Tafin Oematan menyayangkan keputusan pemerintah ini dengan status Mutis saat ini.
"Kami tidak ingin dibingungkan lagi dengan istilah Cagar Alam atau Taman Nasional. kami berharap agar Mutis menjadi Hutan Adat seperti sedia kala dan dipelihara oleh masyarakat Adat yang sudah turun temurun. Negara seenaknya kasi naik kasi turun status sejak kapan negara punya tanah. Mutis itu sakral dan itu adalah TAMAN EDEN di dunia," tegss Usif Oematan lagi.
Febrianto Bintara salah satu aktivis FMN dan AGRA memberikan argumen dengan data
jika pemerintah memiliki reputasi buruk dalam pengelolaan Taman Nasional. Lebih mementingkan investasi dibandingkan konservasi alam dan lingkungan.
Di Taman Nasional Komodo misalnya, bahkan masyarakat Suku Atamodo yang percaya bahwa leluhur mereka adalah komodo hanya mendapatkan ruang hidup seluas 298 Ha. Sedangkan zona konservasi hanya 35.308 Ha. Selebihnya yang kurang lebih hampir 90.000 hektar itu masuk zona Pemanfaatan yang dikuasai serta dimiliki oleh negara, artinya masyarakat asli telah kehilangan hak milik turun temurun atas pulau itu.
"Belum lagi di Mandalika dan Tesso Nilo jadi kami mengapresiasi masyarakat Adat Timor yang peka terhadap hal ini terutama kawasan Mutis yang sangat kaya dengan sumber mineral dan pemandangan alam yang luar biasa," demikian Febrianto Bintara menjelaskan.
Dalam pertemuan ini ditelurkan beberapa butir yang dituangkan dalam Berita Acara bahwa :
1. Menolak Penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia yang telah menurunkan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional;
2. Menghimbau agar seluruh tokoh-tokoh adat dan raja di seluruh daratan Pulau Timor bersatu padu menolak penurunan status CA MUTIS menjadi Taman Nasional;
3. Menolak Penetapan Menteri Lingkungan hidup dan kehutanan atas tanah-tanah rakyat menjadi awasan Hutan produksi tetap Laob Tumbesi;
4. Meminta Menteri terkait untuk mencabut SK atas dua hal tersebut yaitu MUTIS maupun Laob Tumbesi;
Pina Ope Nope menutup dengan mengatakan bahwa MUTIS adalah jantung pulau Timor. Dengan merusak Mutis maka pulau ini akan rusak dan mati.
Menurut Pina ada tiga peristiwa penting yang saling mengikuti yaitu tiga tahun lalu pemerintah dengan represif ingin menguasai Hutan Adat Pubabu, lalu tahun lalu Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan hidup dan kehutanan mengklaim 116 desa di TTS sebagai Kawasan Hutan produksi tetap Laob Tumbesi.
" Hari ini Mutis lagi, sebenarnya pemerintah Pusat mau apa? Mau supaya kami lepas dari pemerintah Pusat?" Imbuh Pina Ope Nope selaku Dewan Pendiri FSBT sekaligus sekretaris Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait