Menyusul surat kedua No.048-OL/ XI/ 2023 Tgl. 23 November 2023 , tentang : “Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut ( PLTAL) Larantuka - NTT” yang ditujukan kapada Pj. Gubernur NTT, isinya meminta agar Pemda NTT mendukung proses perijinan pembangunan Jembatan Palmerah.
Surat kedua ini belum direspon Pj. Gubernur NTT hingga opini ini dibuat.
Sikap “ dingin “ Pemda NTT ini adalah bentuk inkonsisten terhadap kelanjutan Proyek yang bermula dari PFS ( Pra Feasibilty Study ) yang justru dibiayai APBD NTT sendiri 8 tahun lalu.
Di sisi lain, hasil study yang berbentuk dokumen PFS, adalah aset tidak bergerak yang mestinya juga dioptimalkan pemanfaatannya oleh Pemda NTT.
Menjadi aneh ketika di penghujung rangkaian study ini, sikap Pemda NTT justeru “ tidak bersikap”.
Kalaupun ada sikap hati - hati, keraguan dll, justru perlu ada respon balik, untuk mengetahui di titik mana kehati- hatian itu sehingga ada ruang untuk menjelaskan berbagai keraguan.
Padahal ada keuangan negara yang sudah dikeluarkan sejak 2016/2017. Justeru jika tidak bersikap, kebijakan ini bisa dikategorikan sebagai kebijakan yang merugikan keuangan negara dengan kondisi total lost.
Karena dana Rp1,5 M APBD NTT 2016 dan Rp7,5 M APBN 2017, kelanjutannya tidak memberi manfaat apapun bagi rakyat NTT sebagaimana tujuan awal saat diusulkan pemerintah pada waktu itu saat pembahasan anggaran dengan DPRD NTT dan DPR RI kala itu, hingga akhirnya masuk dalam Perda APBD NTT tahun, 2016 dan UU APBN 2017.
Apalagi hasil semua rangkaian study menunjukan, jembatan ini sangat layak dibangun.
Dibalik “sikap tidak bersikap” - nya Pemda NTT, terhadap kelanjutan proyek ini, muncul “perilaku ironi Pemda NTT” yakni sikap berkeras dan ngototnya untuk meloloskan dengan segala cara kebijakan pinjaman daerah melalui dana PEN sebesar Rp1,03 T, pinjaman reguler sebesar Rp. 339 M dengan resiko membayar pokok dan bunga pinjaman 6.3 % per tahun atau setara Rp200 M per tahun hingga 2028.
Kebijakan pinjaman ini , apapun alasannya , jelas membebani fiskal daerah , sehingga butuh solusi strategis dengan sinergitas tinggi di berbagai sektor , diantaranya memberi kemudahan bagi investor yang mau menanamkan modalnya untuk memperkuat fiscal daerah.
Namun ironisnya, disaat ada investor yang mau menanamkan modalnya sebesar $300 jt USA ,atau +\~ Rp4,5 T dalam bentuk Loan dengan bunga rendah, itupun bukan menjadi tanggungan Pemda NTT, sehingga minim resiko karena apapun resiko, semisal gagal, kerugian,dll. ditanggung seluruhnya oleh investor kecuali pembebasan lahan, dukungan sosial dan kelengkapan administrasi pemerintahan, Justeru Pemda NTT “ bersikap untuk tidak bersikap “.
Padahal posisi Pemda NTT hanya sebagai penerima manfaat jembatan yang ada turbin pembangkit energi listriknya.
Di sisi lain ada pinjaman daerah dengan beban bunga yang menggerus fiscal daerah melalui pemotongan DAU / DAK tiap tahun, Pemda NTT bersikap seakan itu bukan masalah? Sungguh sebuah ironi kebijakan publik yang tidak bijak dan patut dipertanyakan komitmen pelayanan publik para pengambil kebijakan. Ataukah ada alasan lain sebagai argumen yang lebih rasional?
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait