KUPANG, iNewsTTU.id - Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban melalui Sekretaris Pina One Nope kembali mengeluarkan surat pernyataan sikap masyarakat Pubabu dan Besipae terkait konflik lahan dengan Pemerintah Provinsi NTT yang sampai saat ini masih terjadi.
Surel yang diterima inews.id, Selasa ( 22/11/2022) ini kembali menegaskan bahwa masyarakat adat Besipae menolak semua bentuk intervensi atas hak tanah adat mereka oleh Pemprov NTT dibawah kendali Gubernur Viktor Laiskodat.
Dan berikut petikan surat elektronik yang di terima redaksi iNews.id :
Masyarakat Hukum Adat & Budaya Amanuban
Terdaftar dalam Tambahan Berita Negara no. 29 tgl 9/4 2021, NPWP : 96.082.445.6-925.000, SK. Kemenhum & Ham nomor : AHU-0003969.AH.01.07. Tahun 2021
Nomor : 05/PPMHABA/XI/2022
Lampiran : 1 (satu) jepit
Perihal : Pernyataan terbuka terkait klaim Pemprov NTT atas Hutan Adat – Kio Pubabu (Besipa’E)
Kepada
Pemimpin Media/ Pers Nasional dan Daerah
di tempat
Salam Sejahtera,
Melalui media ini, kami menyampaikan beberapa hal agar dapat disebarluaskan secara terbuka kepada publik terutama seluruh masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya pemerintah Provinsi NTT. Hal ini perlu untuk dapat diketahui dan dicermati terkait peristiwa penggusuran, pengusiran secara paksa kepada warga Amanuban di Pubabu-Besipa’E pada 21-22 Oktober 2022 serta klaim sepihak oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT atas penguasaan lahan Hutan Adat (Kio) yang sejak dahulu kala disebut Kio Pubabu yang kemudian pada tahun 1981 diubah namanya menjadi instalasi Peternakan Besipa’E.
Oleh sebab itu kami menyampaikan Press Realese ini tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Terkait pernyataan Pejabat Pemprov bahwa warga Amanuban di Pubabu / Besipa’E adalah warga
Okupan dan warga liar, perlu kami sampaikan bahwa :
a. Adapun kata “Okupan” adalah tidak tepat sebab istilah ini tidak ditemukan dalam Kamus besar bahasa Indonesia. Sedangkan Okupasi merujuk pada “pendudukan suatu tanah kosong, atau penguasaan suatu daerah oleh tentara asing”. Bahwa warga Amanuban bukan “tentara asing”
sehingga Pejabat Pemrov menyebut para warga Amanuban di Besipa’E sebagai tentara asing yang menduduki tanah Pemprov adalah pernyataan yang mengada-ada;
b. Bahwa pernyataan Pejabat Pemprov tentang warga Amanuban yang mendiami Hutan Adat (Kio) Pubabu sebagai warga liar bertolak belakang dengan pengakuan pemerintah sendiri terhadap eksistensi warga Amanuban di wilayah tersebut. Sebagai contoh, tahun 2017 ketika akan dipasang tiang-tiang listrik yang melalui kawasan Pubabu/ Besipa’E, Pemerintah melalui pemerintah Kecamatan (Forkopincam) Amanuban selatan membuat Berita Acara Kesepakatan bersama dengan warga yang disebut warga liar dimaksud yang terhimpun dalam Dewan Adat ITA PKK-Pubabu- Besipa’E. Bahwa mereka bersedia dan memperbolehkan Pembangunan Jaringan Listrik melalui wilayah Hutan Adat Pubabu (terlampir) sepanjang tidak merusak hutan dan tidak menebang hutan sehingga Pemerintah menyetujuinya. Sikap Pemerintah yang sebentar mengakui dan sebentar menyangkali eksistensi masyarakat di Besipa’E ini adalah
sikap yang tidak dewasa dan mengada-ada;
2. Bahwa sesungguhnya Hutan Adat (Kio) Pubabu sejak dahulu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kerajaan Amanuban. Bahwa Sejarah penetapan seluruh Kio-Kio (seluruh
hutan-hutan Adat) di pelosok Amanuban adalah atas penetapan dan keputusan raja Amanuban, bukan oleh orang perorang. Bahkan untuk memindahkan batas saja harus dengan persetujuan Raja
Amanuban di Niki-Niki. Sebagai contoh, pada tahun 1932 untuk Kio Pubabu sendiri beberapa anggota keluarga yaitu diantaranya Boimau, Baunsele dan Nome yang menetap di pinggiran Kio Pubabu dan karena penduduk semakin bertambah maka mereka memohon agar batas Kio Pubabu digeser.
Muke Nome dan Keluarga Baunsele membawa 25 perak kepada Temukung Pollo (Liukole Nabuasa) dan uang perak ini dibawa ke Sonaf Niki-Niki untuk meminta kepada Raja Amanuban saat itu Usi Pina (Pa’E Nope) agar batas Kio dipindah sesuai permintaan masyarakat bagi ruang hidup mereka maka Raja Amanuban Pa’E Nope (atau Usi Pina) turun lalu memindahkan batas Kio Pubabu dan disaksikan oleh seluruh masyarakat sekitarnya serta seorang pejabat Belanda (video
kesaksian masyarakat terlampir). Bukti tumpukan batupun masih ada sampai detik ini;
3. Pernyataan pejabat Pemprov NTT bahwa “pemilik Hak Ulayat” atas Pubabu adalah keluarga Nabuasa merupakan sebuah kekeliruan besar. Kata “Hak Ulayat”sendiri dalam struktur hukum Indonesia adalah “Hak Purba”. Menurut Djojodigoeno (yang dikutip oleh Iman Sudiyat dalam buku Hukum Adat – Skesta asas – Liberty Yogyakarta 1981 halaman 3) Hak Ulayat adalah Hak Persekutuan atau disebut juga Hak Purba. Dalam repository ini maka jelas hak Perseorangan menjadi lemah atau dengan kata lain tidak dapat diakui. Menurut Supomo, Hak Ulayat juga disebut Hak Pertuanan oleh karena itu disebut juga sebagai Hak Purba, maka dalam kasus Pubabu- Besipa’E adalah suatu kebingungan tersendiri apabila Pemprov secara mati-matian mengakui Nabuasa yang merupakan keturunan temukung Pollo dan temukung Linamnutu sebagai pemegang hak ulayat sedangkan Ketemukungan di seluruh Amanuban adalah bentukan raja Amanuban;
4. Bahwa dalam hikayat-hikayat dan sejarah lisan Amanuban, sejak tahun 1650-an wilayah Bena-Ulmoen-Lulfam-Batnun memiliki keterkaitan historis dengan leluhur Boimau yaitu Bilpika Boimau dan Leluhur keluarga Toni-Leosae di Kualin yaitu Komi Lina / Lina Tuan (dimana kemudian nama Limannutu itu muncul). Oleh sebab itu, persoalan Pubabu-Besipa’E bukan persoalan remeh temeh seperti yang digembar-gemborkan oleh pejabat Pemrov dan Buzer media sosial yang dengan gampangnya Pemprov menyebut orang tertentu sebagai Pemegang Hak Ulayat seperti seumpama membuat selembar SPPD fiktif lalu beranggapan bahwa semua tindakan represif itu benar;
5. Bahwa Hak atas tanah yang selama ini diklaim oleh Pemprov atas tanah Pubabu adalah Hak Pakai (Copy Sertifikat terlampir). Merujuk pada Hukum Positif sebagaimana di atur dalam Undang-
Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dan peraturan turunannya, maka jelas bahwa HAK
PAKAI atas Hutan Adat ini sejak tahun 1986 itu sudah berakhir paling lambat 2006 dan sudah seharusnya dikembalikan kepada rakyat Amanuban. Sangat disesalkan bahwa tindakan Pemprov NTT justru bertentangan dengan produk perundang-undangan itu sendiri dan mengklaimnya sebagai hak milik Pemprov bahkan mengusir masyarakat serta memperluas jangkauan dan luasan Instalasi peternakan Besipa’E hingga telah memasukan wilayah permukiman dan kebun masyarakat
Amanuban Dusun Hausunaf Desa Linamnutu dan Dusun Oenoni Desa Mio.
6. Kami menyadari bahwa pemerintah Republik Indonesia di masa orde lama telah menghapus sistim pemerintahan kerajaan namun hak-hak masyarakat Amanuban tidak dengan serta merta telah tercabut dari akar-akarnya sehingga pihak manapun dapat dengan leluasa menindas hak-hak masyarakat Amanuban. Sebenarnya berapa juta ekor sapi yang akan diternakan dan dikembangbiakan oleh Pemprov NTT diatas lahan tersebut sehingga bertindak sewenang-wenang serta mengklaim hampir 4.000.000 m2 tanah? Sehingga melakukan tindakan yang tidak manusiawi terhadap warga Amanuban di Pubabu?;
7. Bahwa kami sangat menyesalkan pernyataan salah satu petinggi Sinode Gereja di NTT yang menantang Masyarakat Adat Amanuban serta mempersilahkan untuk menggugat Pemprov melalui mimbar gereja dengan nada provokasi dan merendahkan. Kami menyadari bahwa Masyarakat Adat bukan siapa-siapa lagi dan tidak ada gunanya lagi di negara ini. Mencermati fenomena bahwa sistim politik Negara ini telah menempatkan para Politisi dan Rohaniwan untuk saling memperkuat posisinya sekalipun itu berkaitan dengan peristiwa kemanusiaan namun sesungguhnya hak hidup masyarakat Amanuban atas tanah dan air Amanuban yang diperoleh leluhur masyarakat Amanuban itu berasal dari TUHAN bukan dari sistim politik adu domba. Pernyataan ini sangat kami sesalkan;
8. Bahwa hak untuk menggugat di Pengadilan justru kami serahkan kepada Pemprov sebagai pihak yang merasa dirugikan akibat satu atau dua petak tanah miliknya telah diserobot masyarakat Amanuban yang memang saat ini sangat membutuhkan ruang hidup bukan saja Sapi-Sapi Pemprov terutama masyarakat di Dusun Hausunaf Desa Linamnutu dan Dusun Oenoni Desa Mio yang saat ini tidak dapat tidur nyenyak sebab sewaktu-waktu mereka juga bisa diperlakukan sama oleh Pemprov. Justru tindakan pejabat Pemprov dengan melakukan tindakan anarkis telah memberi dampak buruk bagi upaya penegakan hukum di Republik ini;
9. Bahwa melalui Press Realesse ini kami menghimbau kepada seluruh komponen masyarakat Amanuban agar bersatu padu dan jangan terpecah-pecah atau terkotak-kotak dengan berbagai opini yang tidak sehat, meneguhkan hati untuk mempertahankan identitas kita sebagai orang-orang yang patut untuk dihargai secara manusiawi baik oleh pejabat atau oleh sistim negara;
10. Oleh karena itu, kami meminta dengan hormat kepada Bapak Gubernur NTT dan seluruh pejabat teras di lingkup pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menghentikan semua tindakan represif terhadap masyarakat Amanuban yang kecil, miskin dan sengsara di Pubabu/ Besipa’E Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur serta memberikan ruang hidup bagi masyarakat untuk bermukim, bertani dan beternak sebagaimana layaknya warga Negara lainnya.
Demikian press realese ini dan atas perhatian masyarakat umum kami ucapkan terima kasih.
Salinan Press Realese ini kami sampaikan dengan hormat kepada : a. Presiden Republik Indonesia di Jakarta;
b. United Nations Human Rights Council di Jenewa-Switzerland;
c. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta;
d. Ketua DPR Republik Indonesia di Jakarta;
e. Ketua Komnas HAM Republik Indonesia di Jakarta;
f. Pemerintah Provinsi NTT di Kupang;
Hormat Kami,
Niki-Niki, 21 November 2022
Atas nama ketua Perkumpulan
Sekretaris/ Pina One Nope
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait