KUPANG,iNewsTTU.id- Di tengah kekhawatiran masyarakat yang meningkat terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, pemerintah dan semua pemangku kepentingan memandang penting untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka menekan angka kekerasan tersebut. Masyarakat juga harus bisa berkontribusi dengan cara berpartisipasi memberikan edukasi berupa kampanye kepada sesama masyarakat untuk mencegah dan mengenali tanda-tanda perilaku yang mengandung unsur pelecehan dalam bentuk apapun, melindungi dan bersikap peduli terhadap korban, serta mendesak pihak berwenang untuk senantiasa menegakkan hukum yang adil agar membuat efek jera kepada para pelaku.
Berbagai jenis kasus kekerasan yang terlaporkan, ditangani, selesai, dan tidak terlaporkan namun diketahui selama 4 tahun belakangan, dengan kasus terbanyak berada di tahun 2022 yaitu sebanyak 26 kasus kekerasan terhadap anak sedangkan perkembangan kasus kekerasan terhadap anak hingga bulan Juni 2024 tercatat 11 kasus dan telah selesai ditangani.
Demikian pemaparan Ruth Diana Laiskodat selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT, saat tampil sebagai narasumber dalam wawancara dengan para mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (STFTJ) dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), yang tengah melaksanakan program social immersion di Rumah Harapan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Rabu, (10/7/2024).
Menurutnya untuk dapat mengetahui catatan kasus tersebut perlu adanya layanan atau dukungan pendampingan yang diberikan oleh instansi pemerintahan melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinis NTT.
Penanganan dilakukan sebaik baiknya untuk para korban kekerasan seksual, tanpa memandang latar belakangnya dengan memberikan layanan konseling oleh psikolog, layanan konseling oleh tokoh agama, serta layanan pendampingan hukum, guna membantu korban kekerasan seksual untuk dapat keluar dari masalah yang dihadapi dan mampu memulihkan semangat melanjutkan masa depannya.
" Dinas P3AP2KB Provinsi NTT melalui UPTD PPA Provinsi NTT memiliki relasi dengan mitra dan jejaring seperti Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan, Rumah Sakit, Dinas Sosial, Lembaga Bantuan Hukum, dimana dalam relasi tersebut, UPTD PPA DP3AP2KB Provinsi NTT, melakukan koordinasi dengan mitra maupun jejaring, lebih dari itu adanya pendampingan terhadap anak/korban dalam setiap tahapan penegakan hukum di kepolisian maupun pengadilan," Ujar Ruth kepada Laura Cristina Manullang yang berperan sebagai moderator dalam wawancara tersebut, dimana hasil wawancara berupa video pernyataan dari Kepala Dinas P3AP2KB Provinsi NTT akan menjadi bagian integral dalam film edukatif yang mengangkat isu Kekerasan berbasis Gender (KBG) di NTT sekaligus sebagai bentuk kampanye anti kekerasan terhadap anak.
Proses wawancara ini berlangsung di ruang kerja Kepala Dinas DP3AP2KB Provinsi NTT dan dihadiri juga oleh Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) DP3AP2KB Provinsi NTT, France Abednego Tiran. Selain Kadis DP3AP2KB Provinsi NTT, pembuatan film yang berjudul Aku HambaMu, juga melibatkan pernyataan dari tokoh-tokoh penting sebagai narasumber, sebagai tanggapan atas kasus kekerasan pada anak dan upaya masif yang perlu dilaksanakan secara berkelanjutan untuk memberi jaminan perlindungan terhadap anak.
Adapun tokoh – tokoh yang berhasil diwawancarai oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang melaksanakan Social Immersion pada Rumah Harapan GMIT, diantaranya : Pater Dodi Sasi dari Tribunal Keuskupan Agung Kupang, Esther Day dari LBH APIK, Pimpinan Rumah Perempuan, Libby Sinlaeloe, Perwakilan Rumah Harapan GMIT Pdt. Emeritus Paulina Bara Pa dan Psikolog Dita Manafe.
Menurut Ruth, kekerasan terhadap anak makin merajalela bagaikan monster yang siap memangsa dimanapun berada. Siapapun bisa menjadi korban maupun pelakunya. Tingkatkan upaya preventif untuk menekan angka kekerasan terhadap anak melalui berbagai terobosan sebagai kekuatan kita. Hal tersebut merupakan langkah konkret demi mewujudkan harapan cerah bagi Generasi Emas Indonesia.
Social Immersion adalah sebuah proses pembelajaran yang melibatkan mahasiswa dan mahasiswi dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat secara langsung. Melalui social immersion, mahasiswa/i diharapkan dapat memahami realitas sosial dan budaya di masyarakat, serta menerapkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Adapun para mahasiswa dan mahasiswi yang melakukan social immersion selama dua bulan di Rumah Harapan GMIT perutusan dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta adalah Sarah Mariaty Manurung dan Ruth Sopiana Sianturi. Sementara perutusan dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Jogjakarta adalah Intyas Ika Putri Susanti, Ivan Alpha Setiawan dan Laura Cristina Manullang.
Film edukatif dengan durasi 10 menit khusus tersebut membahas tentang kekerasan seksual terhadap anak, dimana pelakunya adalah tokoh agama. Tujuan pembuatan film ini adalah: Meningkatkan kesadaran masyarakat terkait dengan traumatis yang dialami anak akibat pelecehan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama, membangun perhatian tokoh agama terhadap dampak yang dialami korban khususnya anak sebagai korban kekerasan seksual dan mendorong masyarakat untuk menjadi lebih waspada dan berani melapor untuk mendukung korban mendapatkan keadilan.
Proses pembuatan film ini mendapat respons antusias dari Kepala Dinas P3AP2KB Provinsi NTT, Ruth Diana Laiskodat, dimana ia bersedia menyampaikan gagasan, himbauan dan ajakan kepada semua pihak akan pentingnya upaya preventif kekerasan terhadap anak.
“Sebelum kasus yang menjadikan anak sebagai korban semakin banyak, sangat baik apabila semua pihak satukan tekad dengan tegas melakukan gerakan moral bersama untuk memutus mata rantai kekerasan di NTT," jelas Ruth Laiskodat.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT ini juga mengatakan bahwa amarah terhadap anak sangat mempengaruhi perkembangan otak anak. Jika ini dilakukan tak terkendali maka bisa mengganggu struktur otak anak itu sendiri. Hentikan caci maki dan bentakan pada anak anak kita. Hal itu bisa merusak otak.
“Stop memarahi anak, tetapi Peluklah anak-anak kita dengan penuh kasih sayang. Karena sesuai hasil penelitian bahwa Pelukan orang tua selama 20 detik perhari baik untuk tumbuh kembang anak, Didiklah anak-anak kita menjadi generasi yang sehat, kreatif, berkarakter, memiliki daya juang yang tinggi dan mandiri. Jadilah sahabat anak”, tegas Ruth Laiskodat.
Editor : Sefnat Besie