KUPANG,iNewsTTU.id-- Dugaan praktek pungutan liar (pungli) yang menyeret nama Kepala Puskesmas Oepoi, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, NTT, drg. Elfride Ruth, kini tengah dalam penyelidikan oleh Inspektorat Daerah Kota Kupang. Laporan mengenai dugaan pungli ini pertama kali mencuat setelah beberapa tenaga kesehatan (nakes) mengadukan kasus tersebut kepada Penjabat Walikota Kupang, Fahrensy Funay, melalui surat resmi yang dikirimkan sejak Februari 2024.
"Suratnya ke Pj. Walikota pada bulan Februari," ujar seorang tenaga kesehatan pada Selasa (28/05/2024), mengungkapkan kekhawatiran yang mereka rasakan.
Menanggapi laporan tersebut, Penjabat Walikota langsung menginstruksikan Inspektorat Daerah Kota Kupang untuk melakukan penyelidikan mendalam. Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai tindak lanjut laporan ini. Beberapa nakes telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh inspektorat, namun hasil penyelidikan masih belum dipublikasikan.
Ketika dikonfirmasi oleh wartawan pada Senin (27/05/2024), Kepala Puskesmas Oepoi, drg. Elfride Ruth, mengakui bahwa kasus ini sedang dalam proses penyelidikan. "Saya tidak ingin berbicara banyak mengenai (dugaan pungli) ini, karena sedang berproses," kata Elfride dengan nada hati-hati.
Elfride menyatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan mengaku telah memenuhi panggilan inspektorat untuk memberikan keterangan. Namun, dia menolak memberikan pernyataan tegas mengenai kebenaran dugaan tersebut. "Mohon maaf, saya tidak mau menjawab apapun," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Inspektorat Daerah Kota Kupang, Frenki Amalo, belum memberikan keterangan resmi mengenai perkembangan penyelidikan ini. "Mohon maaf ya, saat ini kita lagi kegiatan dengan KPK RI. Terima kasih," tulis Frenki dalam pesan tertulis yang diterima iNewsTTU.id pada Selasa (28/05/2024).
Laporan ini mencuat setelah sejumlah staf dan nakes Puskesmas Oepoi mengeluhkan adanya pungli yang diduga dilakukan oleh Kepala Puskesmas bersama Kepala Tata Usaha (KTU) Eflin Sina, serta dua bendahara, Maria Korohama dan Rovenolia Ngongo. Mereka diwajibkan menyetor lima persen dari uang perjalanan dinas sebagai syarat penandatanganan surat perjalanan dinas. Praktek ini diduga telah berlangsung sejak 2019 dan uang yang terkumpul diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah, masuk ke kantong pribadi para oknum.
Dana yang dipotong berasal dari Dana Alokasi Umum Spesifik Grand (DAU SG) dan Biaya Operasional Kesehatan yang dikelola oleh Puskesmas. Para nakes berharap praktek pungli ini segera dihentikan karena sangat merugikan mereka yang harus melaksanakan tugas di luar kantor.
Kasus ini mencerminkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik, terutama di sektor kesehatan yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Masyarakat kini menanti hasil penyelidikan dengan harapan bahwa keadilan akan ditegakkan dan praktek pungli dapat dihentikan.
Editor : Sefnat Besie