Menurut Yusak, gimmick politik gemoy terbilang strategi pemasaran politik yang cukup berhasil bagi Prabowo-Gibran. Di beragam platform media sosial, tagar gemoy rutin dimainkan oleh warganet, baik itu oleh para pendengung atau oleh individu organik.
Sayangnya, gimmick ikonik itu minim substansi edukatif. Walhasil, kapabilitas Prabowo-Gibran untuk memimpin bangsa pun kerap dipertanyakan publik. Apalagi, pasangan itu sering absen di debat-debat publik yang diselenggarakan institusi pendidikan dan lembaga pemikir.
Dari sekitar 19 forum dialog dan adu gagasan yang digelar selama beberapa bulan terakhir, Prabowo-Gibran tercatat absen hingga 10 kali. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin sama-sama hanya absen sekali. Di beberapa forum, Prabowo juga kerap tampil sendirian.
Secara khusus, Yusak mengkritik langkanya kehadiran Gibran di forum-forum debat. Sebagai cawapres, Gibran seharusnya berani beradu gagasan dengan kandidat-kandidat lainnya di forum publik. Dengan begitu, Gibran tak selalu dipersepsikan mendapat tiket cawapres lantaran statusnya sebagai putra Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Supaya persepsi publik ini tidak menganggap bahwa Gibran datang hanya dengan pepesan kosong. Hanya menghadirkan joget-joget ikon gemoy dan sebagainya. Kalau Prabowo, beda. Dia sudah dua kali ikut pilpres dan lebih siap. Kalau bicara visi-misi, Prabowo sudah teruji di panggung- panggung. Gibran yang perlu lebih membuktikan diri," jelas Yusak.
Ke depan, Yusak berharap pasangan Prabowo-Gibran tak hanya sekadar tampil di debat resmi KPU saja. Meskipun sudah punya popularitas yang tinggi di kalangan milenial dan gen Z, pasangan itu juga wajib mengedukasi pemilih dan memberikan program-program yang konkret bagi konstituen mereka.
"Prabowo-Gibran tidak boleh menghindar kalau undangan-undangan debat publik di luar yang sudah difasilitasi oleh KPU. Karena itu menjadi penting, Gibran harus mampu menjawab persepsi publik yang menyatakan bahwa dia tidak punya visi-misi yang konkret," ucap Yusak.
Editor : Sefnat Besie