Sidang Etik AKP Yance, Saksi Ahli Minta Majelis Harus Objektif Nilai Alat Bukti

Eman Suni
Ahli Pidana asal Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Dr. Mikhael Feka, Senin (06/10/2025). Foto: Eman Suni

KUPANG,iNewsTTU.id-- Sidang dugaan pelanggaran kode etik terhadap oknum anggota Polri di Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), AKP Yance Kadiaman, kembali digelar hari ini. Dalam sidang tersebut, Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda NTT menghadirkan Dr. Mikhael Feka sebagai saksi ahli.

Kasus ini bermula dari laporan Jesica Basuki pada 6 Agustus 2025 yang menuduh AKP Yance melakukan dugaan pelecehan. Namun, hanya dua hari kemudian, pada 8 Agustus 2025, laporan tersebut dicabut kembali oleh pelapor dengan alasan adanya kekeliruan. Meski laporan dicabut, Bidpropam Polda NTT tetap melanjutkan proses etik terhadap AKP Yance karena dinilai terdapat dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri.

Dalam keterangannya usai menjalani sidang, saksi ahli Dr. Mikhael Feka menegaskan pentingnya memperhatikan unsur alat bukti yang sah dalam proses penegakan hukum maupun sidang kode etik.

“Terkait alat bukti, baik itu keterangan saksi, surat, dokumen elektronik, keterangan terduga, maupun petunjuk  dalam KUHAP atau Perpol diatur bahwa untuk menjatuhkan hukuman harus ada dua alat bukti yang sah disertai keyakinan majelis kode etik,” ujar Dr. Mikhael Feka.

Menurutnya, viralnya sebuah kasus di media tidak bisa dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi etik tanpa adanya alat bukti yang kuat.

“Sebuah perkara tidak bisa serta-merta dijatuhi sanksi hanya karena viral di media. Semua tetap harus tunduk pada peraturan. Yang paling penting adalah apakah ada dua alat bukti yang membuat hakim yakin untuk menghukum terduga pelanggar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dr. Mikhael menyoroti soal integritas alat bukti, atau yang disebutnya sebagai fidelitas alat bukti. Ia menjelaskan bahwa tidak semua bukti dapat dianggap sah, tergantung pada cara memperoleh dan keterkaitannya dengan bukti lain.

“Alat bukti tidak boleh sembarangan. Misalnya, jika saksi hanya mendengar dari orang lain, maka kesaksiannya harus sesuai dengan bukti lain. Begitu juga dokumen elektronik bila disebut sebagai sumber informasi tapi tidak bisa ditunjukkan, maka itu tidak dapat disebut alat bukti elektronik,” jelasnya.

Ia menambahkan, dokumen yang hanya berupa fotokopi tanpa menunjukkan asli juga tidak memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti.

Terkait dengan laporan yang telah dicabut oleh pelapor, Dr. Mikhael menilai hal tersebut masih dapat dijadikan informasi awal, namun tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menghukum seseorang.

“Laporan yang sudah dicabut hanya bisa menjadi informasi awal. Dari informasi itu, penyidik bisa mencari alat bukti lain yang sah untuk memastikan apakah ada pelanggaran etik atau tidak. Tapi laporan itu sendiri tidak bisa dijadikan alat bukti,” pungkasnya.

Sidang kode etik terhadap AKP Yance Kadiaman ini masih terus berlanjut, dan hasil putusan akan ditentukan oleh Majelis Kode Etik Polri (KKEP) Polda NTT setelah seluruh tahapan pembuktian selesai.

Editor : Sefnat Besie

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network