KUPANG,iNewsTTU.id-- Data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 1.401 orang diberangkatkan secara resmi sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Mayoritas dari mereka bekerja di sektor perkebunan dan rumah tangga, dengan dominasi pekerja perempuan mencapai 95%.
"Saya tidak tahu di mana para lelaki NTT berada saat ini. Kami, para perempuan—ibu-ibu—bukan hanya sekadar tulang rusuk, tetapi juga tulang punggung keluarga," ujar Kepala BP3MI NTT, Suratmi Hamida, saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (31/1/2025).
Tingginya jumlah pekerja perempuan ini berdampak langsung pada fenomena stunting di NTT. Banyak ibu muda yang baru menikah dalam dua hingga tiga bulan langsung memutuskan bekerja di luar negeri. Akibatnya, anak-anak mereka ditinggalkan untuk diasuh oleh kakek dan nenek tanpa perhatian yang cukup terhadap asupan gizi dan pola asuh yang baik.
"Saya yakin bahwa kondisi ini berkontribusi terhadap angka stunting di NTT. Kurangnya perhatian terhadap gizi dan pola asuh anak menjadi faktor utama," jelas Suratmi.
Malaysia masih menjadi negara tujuan utama PMI asal NTT, dengan persentase penempatan mencapai 93%. Sisanya tersebar di Singapura, Hong Kong, Thailand, Jepang, dan Jerman.
Kabupaten dengan jumlah pekerja migran terbanyak berasal dari Sumba Barat Daya, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Malaka, dan Belu. Namun, Suratmi menyayangkan karena mayoritas PMI yang bekerja di Malaysia hanya lulusan sekolah dasar.
"Tahun 2025, ketika BP3MI telah bertransformasi menjadi kementerian, kami bertekad meningkatkan status PMI asal NTT. Saya tidak ingin NTT terus dikenal sebagai provinsi penyumbang pekerja rumah tangga dan buruh kebun terbanyak. Apalagi dengan banyaknya kasus yang menimpa pekerja di luar negeri. Kami ingin lebih banyak PMI formal dengan keahlian yang lebih baik," tegasnya.
Sejarah Panjang Migrasi Tenaga Kerja NTT ke Malaysia
Suratmi juga menegaskan bahwa masyarakat tidak boleh hanya melihat NTT dari jumlah peti jenazah yang dipulangkan. Sejarah migrasi keturunan Flobamora ke Malaysia telah berlangsung sejak tahun 1934, sehingga banyak PMI lebih percaya pada keluarga mereka yang sudah lebih dulu merantau daripada pemerintah.
"Mereka lebih percaya pada keluarga yang sudah lebih dulu berangkat ke luar negeri ketimbang mengikuti prosedur resmi dari pemerintah. Ini membuat pemerintah kesulitan mengontrol arus migrasi tenaga kerja, meskipun di sisi lain Malaysia juga menawarkan berbagai tantangan," katanya.
Malaysia sendiri tetap menerima PMI NTT tanpa memandang kompetensi atau pendidikan formal. Mereka hanya melihat tenaga kerja yang kuat dan mau bekerja keras.
"Malaysia tidak melihat kompetensi atau ijazah. Karena keterbatasan dan kesempatan itulah banyak warga kita memilih berbondong-bondong ke Malaysia tanpa memikirkan keselamatan mereka. Jika tertangkap, mereka sudah siap menghadapinya. Sementara di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa tidak ada cukup lapangan kerja bagi mereka di daerah asal," ujarnya.
BP3MI NTT ingin meningkatkan kualitas pekerja migran agar lebih banyak yang bekerja di sektor formal, bukan hanya sebagai pekerja rumah tangga atau buruh perkebunan.
"Kami tidak bisa melarang orang bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau buruh kebun karena itu bisa berdampak hukum. Tapi kami ingin mengurangi jumlahnya secara perlahan dengan meningkatkan keterampilan mereka agar bisa bekerja di sektor yang lebih baik," tegasnya.
Suratmi berharap ke depan, PMI asal NTT bisa mendapatkan peluang kerja yang lebih baik dan lebih terlindungi. "Kami ingin PMI NTT naik kelas dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak serta lebih aman," tutupnya.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait