KUPANG,iNewsTTU.id- Isu kekerasan terhadap anak, terutama anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS dan terpapar zat adiktif, merupakan tantangan serius di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Anak-anak ini sangat rentan dari segi kesehatan, sosial, psikologis, dan perlindungan hukum, seringkali menghadapi stigma, diskriminasi, dan kekerasan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana berkomitmen untuk memperkuat perlindungan bagi mereka melalui program-program holistik, termasuk kegiatan sosialisasi ini. Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi hak-hak anak.
Kolaborasi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini. Tanggung jawab ini tidak hanya milik pemerintah, tetapi juga orang tua, pendidik, dan lembaga masyarakat. Kita perlu menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi anak-anak agar mereka dapat tumbuh tanpa rasa takut dan diskriminasi. Saya berharap kegiatan ini dapat memperkuat komitmen kita dalam mencegah kekerasan terhadap anak-anak, terutama mereka yang hidup dengan HIV/AIDS dan terpapar zat adiktif.
Demikian sambutan Endang S. Lerrich selaku Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Timur, sekaligus membuka secara resmi kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap anak korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif, dengan tema “Dukung Mereka, Bukan Lukai Mereka; Sayangi Anak Korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif”, Kamis, (31/11/ 2024).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh DP3AP2KB Provinsi NTT ini, bertempat di Aula Hotel Greenia Jl. Hati Mulia V, Oebobo, Kota Kupang, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran yang lebih dalam kepada kita semua, terutama kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat luas, tentang pentingnya melindungi hak-hak anak-anak, khususnya mereka yang hidup dengan HIV/AIDS atau terpapar zat adiktif.
Dengan menghadirkan narasumber terkait topik tersebut, yaitu Endang S. Lerrich selaku Plt. Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, France A. Tiran selaku Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB Provinsi NTT, Adrianus Lamury selaku Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi NTT dan dr. Daulat A. D. Samosir, Koordinator Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi NTT.
Sosialisasi ini, diharapkan dapat membangun kesadaran (awareness) yang lebih luas mengenai pentingnya melindungi anak dan perempuan dari kekerasan. Untuk mencapai tujuan ini, kita perlu menjadi motor penggerak dalam komunitas kita, dengan harapan untuk mengeliminasi kekerasan dan menjadikan "zero kekerasan terhadap anak dan perempuan" sebagai target utama.
"Kami telah melaksanakan berbagai program untuk mendukung kesetaraan gender dan memperjuangkan Kota Layak Anak. Tahun lalu, kita berhasil mendapatkan pengakuan untuk satu kota dan satu kabupaten sebagai Kota Layak Anak. Tahun ini, kita berupaya untuk mendapatkan pengakuan untuk satu kota dan tiga kabupaten lagi," ujar Endang.
Kerja sama lintas sektor sangat penting dalam upaya ini. Kita perlu menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, serta hak untuk mendapatkan perlindungan dan berpartisipasi dalam keputusan yang memengaruhi mereka. Untuk itu, kita harus saling berkolaborasi mulai dari keluarga hingga semua elemen masyarakat.
Dinas yang dipimpinnya juga berfokus pada perlindungan hak anak dengan menangani korban kekerasan, termasuk perempuan dan anak yang menjadi korban HIV/AIDS. Kita perlu bergandeng tangan antara masyarakat, pemerintah, tokoh agama dan kaum muda untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak dan perempuan.
Endang juga berpesan agar selama sosialisasi, penting untuk menampilkan informasi tentang SAPA 129, layanan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia bebas biaya dan melalui WhatsAPP 08111129129, agar masyarakat tahu ke mana harus melapor jika terjadi kekerasan. Saat ini, banyak korban yang tidak tahu harus mengadu ke mana ketika mereka mengalami kekerasan. Dengan informasi yang jelas, kita dapat membantu korban untuk mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan.
“Mari kita semua bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak dan perempuan di sekitar kita”, pesan Endang menutup penjelasannya.
Sejalan dengan paparan Endang S. Lerrich, France Abednego Tiran sebagai narasumber kedua juga mengajak seluruh peserta untuk terus berkomitmen dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, dengan menekankan bahwa peran serta masyarakat terutama kaum muda, termasuk tokoh agama, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah, sangat krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak termasuk anak sebagai korban HIV/AIDS dan Zat Adiktif yang termasuk dalam 15 tipe anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus oleh pemerintah.
Menurut Frans, anak-anak tidak boleh dipandang sebelah mata, karena mereka adalah anugerah yang tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan berhak dihormati. Kehadiarn anak dalam sebuah keluarga, apapun kondisi anak tersebut, anak adalah anugerah. Kami menyoroti pentingnya pelayanan kesehatan dan rehabilitasi bagi anak korban penyalahgunaan zat adiktif, yang mencakup akses ke layanan medis dan program rehabilitasi sosial untuk membantu pemulihan fisik dan mental mereka.
Selain itu, pendampingan psikososial perlu diberikan untuk mendukung kesejahteraan psikologis anak, serta memastikan mereka mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak, termasuk untuk anak yang terkena HIV/AIDS. Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi anak, sehingga pendidikan dan pelatihan bagi orang tua harus dilakukan agar mereka dapat memahami kebutuhan anak secara mendalam. Kolaborasi antara berbagai sektor kesehatan, pendidikan, hukum, agama dan sosial sangat diperlukan untuk menciptakan perlindungan yang efektif bagi anak-anak kita, memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Perkembangan anak dimulai sejak periode prenatal, di mana nutrisi dan kebiasaan ibu memengaruhi risiko penyalahgunaan zat di masa depan. Pada masa bayi, nutrisi, kesehatan, dan hubungan erat dengan pengasuh penting untuk membangun "self-regulation" yang berfungsi sebagai pelindung dari risiko penyalahgunaan zat. Di tahap prasekolah.
" Kedekatan dengan orang tua mendukung perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak, sementara kurangnya perhatian dari orang tua dengan masalah psikologis meningkatkan risiko perilaku menyimpang. Ketika anak mulai sekolah, kesiapan mengikuti aturan dan target akademik membantu anak beradaptasi di lingkungan baru” Papar Koordinator Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi NTT, dr. Daulat A. D. Samosir.
Terkait faktor internal, seperti kecerdasan dan temperamen yang mudah beradaptasi, membantu anak menghadapi lingkungan dengan lebih baik. Adiksi narkoba pada remaja sering kali berakar pada faktor risiko yang terbentuk sejak dini. Misalnya, faktor risiko prenatal seperti paparan alkohol atau tembakau, dan stres kronis yang dialami anak selama masa perkembangan bisa menjadi dasar perilaku penyimpangan di masa dewasa.
Selain itu sebelum masuk pada sesi diskusi paparan materi dari narasumber keempat yang tak kalah penting terkait pencegahan diskriminasi terhadap salah satu tipe anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus, anak korban HIV AIDS.
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia perlu difokuskan pada pencapaian '3 Zero 2030', yaitu: tidak ada infeksi HIV baru, tidak ada kematian terkait AIDS, dan tidak ada diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). semua pihak memahami bahwa pencegahan HIV dimulai dengan edukasi yang menyeluruh, deteksi dini melalui tes HIV atau VCT, dan terapi antiretroviral (ARV) yang harus dijalankan secara konsisten. Hanya dengan pengobatan yang benar, ODHA bisa hidup sehat dan produktif.
Sayangnya, penanggulangan HIV/AIDS ini masih menghadapi tantangan besar berupa stigma dan diskriminasi yang mempersulit ODHA mengakses layanan kesehatan dan menyebabkan tekanan sosial yang besar. Kami tahu bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), sering kali menerima diskriminasi, baik dari sekolah maupun masyarakat.
Stigma ini banyak dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang cara penularan HIV, yang membuat masyarakat merasa takut dan berprasangka bahwa HIV/AIDS adalah akibat perilaku tidak bertanggung jawab.
Kegiatan yang dilakukan secara hybrid selain edukasi secara langsung di Aula Hotel Greenia Kupang, disiarkan pula secara live streaming melalui channel youtube DP3AP2KB Provinsi NTT. Dihadiri oleh Perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Lembaga terkait: Perwakilan Sinode GMIT NTT, Perwakilan dari Keuskupan Agung Kupang, Majelis Ualam Indonesia (MUI) NTT, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) NTT, Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Provinsi NTT, Dinas Sosial Provinsi NTT, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Dinas Kesehatan Provinsi NTT, DP3AP2KB Provinsi NTT, UPTD PPA Provinsi NTT, Komunitas Anti Narkoba, Duta Anti Narkoba Provinsi NTT, Komisi Penanggulangan AIDS NTT, LPA NTT, Orang Muda Katolik (OMK), Pemuda Gereja Pniel Oebobo, Remaja Masjid Baburahman, Muda-mudi Budhis, Pemuda-pemudi Hindu, Puskesmas Oesapa dan Puskesmas Oebobo, Tim Media, DitresNarkoba POLDA NTT, Unit PPA POLDA NTT, SMAN 3 Kupang, SMKN 1 Kupang, SMKN 2 Kupang.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait