KUPANG,iNewsTTU.id-Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah serius yang masih sering terjadi, terutama di daerah Nusa Tenggara Timur. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan edukatif untuk mencegah kekerasan.
Padahal masyarakat di NTT memiliki potensi yang luar biasa, di mana anak-anaknya cerdas dan para ibu berjuang keras untuk memberikan pendidikan terbaik bagi keluarga mereka. Namun, banyak dari mereka yang masih merasa terjebak dalam pola kekerasan dan tidak memiliki keberanian bersuara untuk melapor dan melawan.
Salah satu faktor yang membuat perempuan di NTT ragu untuk berbicara adalah pola asuh yang mengekang, di mana anak perempuan sering kali tidak diberi ruang untuk mengekspresikan pendapat.
Hal ini menciptakan budaya takut dan ketidakberdayaan yang berkepanjangan. Dengan melatih anak-anak, terutama perempuan, untuk berani memilih dan berbicara, kita dapat mulai mengubah statement ini. Pendidikan yang inklusif dan memberdayakan akan memberikan mereka kepercayaan diri untuk menentang kekerasan.
"Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang berbagai bentuk kekerasan dan dampaknya, sehingga tidak ada tempat untuk kekerasan di mana pun," jelas Ruth Diana Laiskodat, selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ruth Diana Laiskodat hadir sebagai pemateri pada Seminar Edukatif Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dengan tema : Peran Perempuan, Dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan, Anak dan Remaja, yang diselenggarakan oleh Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Perempuan dan Pengurus Perempuan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Lingkup Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba, pada Sabtu (21/9/ 2024) kemarin.
Acara yang dipandu oleh moderator France Abednego Tiran, selaku Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak Dinas DP3AP2KB NTT, dihadiri Ketua Majelis Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba diwakili oleh Wakil Ketua I : Pdt. Mathelda M. Djami Bunga, Ketua Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Perempuan GMIT JEO diwakili oleh Sekretaris UPP perempuan, Debby Matau – Nalle, Ketua Pengurus Perempuan Lingkup Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba, Nita Patissina, Sekretaris Pengurus Perempuan, Ina Benggu- Riwu Kaho dan Para Pengurus Perempuan GMIT Ebenhaezer Oeba, serta perwakilan perempuan GMIT dari 33 Rayon Jemaat di GMIT Ebenhaezer Oeba, yang berlangsung di ruang kebaktian GMIT Ebenhaezer Oeba (JEO).
Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberdayakan perempuan GMIT Ebenhaezer dan meningkatkan pengetahuan mengenai berbagai jenis kekerasan dan dampaknya, baik secara fisik, mental, maupun sosial, serta menjelaskan upaya pencegahan yang dapat dilakukan, seperti pendidikan, peningkatan kesadaran, dan dukungan komunitas, pentingnya keberanian untuk melapor ketika menghadapi kekerasan. Dengan memahami dampak dari kekerasan dan strategi pencegahan, peserta diharapkan dapat menjadi pelopor dalam menciptakan lingkungan yang aman, serta mendorong perempuan lain untuk bersuara dan mengambil tindakan, sehingga tercipta budaya yang menolak kekerasan.
" Saya ajak semua pihak belajar dari sosok Ratu Ester, yang dengan keberaniannya berjuang untuk mempertahankan orang-orang Yahudi ketika mereka terancam. Dia berjuang demi harkat dan martabat mereka, menunjukkan bahwa perempuan juga dapat mengambil peran penting dalam menghadapi tantangan. Sementara itu, kita harus menyadari bahwa ada adat yang membelenggu perempuan, menempatkan mereka di belakang dan tidak memberi kesempatan untuk mengambil keputusan," ujar Pendeta (Pdt) Mathelda M. Djami Bunga memberikan sambutan mewakili Ketua Majelis Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba, dalam seminar tersebut.
Ia juga mengajak semua pihak harus berani mengungkapkan bahwa tradisi yang ada sering kali menindas perempuan. Oleh karena itu, kerjasama dengan semua pihak sangatlah penting untuk menciptakan perubahan.
"Semoga kita semua dapat lebih memahami isu-isu ini dengan lebih baik. Di kelas katekasasi, kita juga sudah diajarkan tentang hubungan iman Kristen dengan kekerasan dalam rumah tangga, dan kami berharap materi ini akan menjadi panduan seumur hidup bagi kita sebagai pembina dan pengajar pertama bagi anak-anak kita”, tambah pdt. Mathelda Djami Bunga.
Kekerasan, dalam berbagai bentuknya, menjadi isu serius yang memerlukan perhatian dan penanganan menyeluruh. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, kekerasan fisik meliputi tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau luka, sementara kekerasan seksual mencakup perbuatan merendahkan atau menyerang tubuh dan hasrat seksual seseorang tanpa persetujuan. Di sisi lain, kekerasan psikis menyebabkan penderitaan mental, ketakutan, dan hilangnya rasa percaya diri.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga menjadi perhatian utama, di mana tindakan perekrutan atau pengangkutan individu dilakukan dengan cara-cara yang mengancam atau mengeksploitasi. Selain itu, eksploitasi yang mencakup pelacuran, kerja paksa, dan penyalahgunaan kekuasaan menunjukkan betapa kompleksnya masalah ini.
Penting untuk dicatat bahwa kekerasan tidak hanya terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga melalui pemaksaan perkawinan dan pelecehan seksual, baik secara fisik maupun nonfisik, setiap jenis kekerasan memberikan konsekuensi berat, baik secara fisik, mental, sosial, maupun ekonomi. Misalnya, dampak fisik seperti luka dan cacat dapat mengakibatkan biaya pengobatan yang besar, sementara dampak psikologis seperti trauma dan depresi memengaruhi kualitas hidup korban secara menyeluruh.
Ada beberapa dimensi yang mencerminkan aspek-aspek fundamental yang perlu diperhatikan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan aman bagi setiap anggotanya, Dimensi-dimensi tersebut mencakup keluarga yang sah secara hukum, di mana status legalitas hubungan terjamin; menekankan pentingnya kesehatan keluarga, dengan gizi terpenuhi, stunting zero, dan memiliki rumah yang layak huni; berfokus pada kestabilan ekonomi, dengan keluarga memiliki penghasilan tetap setiap bulan, terdaftar dalam BPJS, dan memastikan anak tidak putus sekolah; menegaskan perlunya keluarga terhindar dari kekerasan dan masalah hukum, menciptakan lingkungan yang aman; menggarisbawahi pentingnya tidak adanya perkawinan anak, merawat lansia dengan baik, dan bijak dalam menggunakan media sosial, sehingga keluarga dapat berfungsi dengan optimal dan harmonis.
Kekerasan terhadap anak dan stunting saling terkait, mempengaruhi perkembangan fisik dan mental generasi muda dan dalam upaya mencegah stunting, Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur, Dr. Andriko Noto Susanto bersama Penjabat Walikota Kupang, Linus Lusi dan Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, Ruth Diana Laiskodat meluncurkan Gerakan Kemanusiaan Penurunan Stunting, dan melaunching video edukasi sosialisasi mengenai pentingnya gizi seimbang yang dimana program ini ditujukan untuk memberikan bantuan pangan bagi keluarga berisiko stunting dan mengedukasi masyarakat tentang pemenuhan gizi anak yang sudah dilakukan di kelurahan Naikolan Kecamatan Maulafa ( 12/9/2024) lalu.
Melalui kolaborasi antara lembaga pendidikan, pemerintah dan komunitas, diharapkan prevalensi stunting dan anemia dapat menurun, menghasilkan generasi yang lebih sehat dan produktif.
“Menurut data Simfoni PPA September 2024, tercatat jumlah korban KDRT 251 pada 233 kasus, dan korban kasus kekerasan lainnya yang terjadi pada perempuan dan anak sebanyak 709 korban pada 658 kasus. Data ini mencerminkan betapa seriusnya masalah kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dan anak di masyarakat, menunjukkan kebutuhan mendesak akan intervensi dan perlindungan yang lebih efektif," papar Ruth.
Pencegahan kekerasan juga memerlukan peran aktif dari orang tua sebagai pendidik dan pembina pertama dalam rumah. Orang tua harus memberikan pola asuh yang penuh kasih dan konsisten, serta membangun komunikasi terbuka dengan anak-anak mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pemahaman mendalam tentang kesetaraan gender agar perempuan tidak dianggap sebagai manusia kelas dua. Upaya pencegahan kekerasan harus dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi yang masif, termasuk sosialisasi mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kolaborasi pentahelix antara pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas keagamaan, dan swasta sangat penting, dengan menciptakan lingkungan yang mendukung korban dan memberdayakan masyarakat untuk melawan kekerasan.
“Pentingnya interaksi positif dalam perkembangan anak tidak bisa diabaikan. Sebuah bentakan, cubitan, atau pukulan dapat menghancurkan hingga satu miliar sel otak anak, sementara satu pelukan dapat membangun sepuluh miliar sel otak. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang dan dukungan emosional sangat vital bagi pertumbuhan kognitif dan emosional mereka," jelas Ruth lagi.
Oleh karena itu, sebagai orang tua dan sebagai ibu harus memberikan apresiasi yang tulus terhadap diri sendiri dan anak, karena hati yang gembira akan memancarkan energi positif kepada orang-orang di sekitarnya.
Selain itu, membandingkan anak dengan orang lain hanya akan mengurangi rasa percaya diri mereka.
Ruth mengajak untuk fokus pada potensi dan kemampuan yang dimiliki anak, sehingga mereka merasa dihargai dan diterima. Saat waktu kita semakin terbatas, penting untuk memikirkan warisan yang akan kita tinggalkan bagi anak cucu. Warisan bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam nilai-nilai, kasih sayang, dan pendidikan yang membangun karakter mereka. Dengan memberikan perhatian dan cinta yang cukup, kita tidak hanya membantu anak tumbuh menjadi individu yang baik, tetapi juga memastikan bahwa mereka mampu mewariskan hal-hal positif kepada generasi berikutnya.
Ia juga mengajak kepada semua pihak untuk berani melapor jika melihat, mendengarkan, bahkan menjadi korban kekerasan kepada pihak berwajib, karena melaporkan kekerasan adalah langkah penting untuk menghentikan siklus ini dan memberikan keadilan bagi korban dan saksi.
Ruth mengajak kaum perempuan dan anak-anak NTT yang cerdas perlu mendapatkan hak mereka. Kasus kekerasan dalam bentuk apapun jangan segan-segan untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum (APH), atau datang langsung ke UPTD PPA Provinsi NTT di Jl. Beringin No.1, Fontein, Kec. Kota Raja, Kota Kupang (depan kantor Otoritas Jasa keuangan NTT) , bisa juga sekarang ini dari Kementerian PPA Republik Indonesia telah menyiapkan Call Center SAPA 129, laporkan ke sana, untuk ditangani tanpa dipungut biaya ataupun melalui nomor WhatsApp 08111 129129.
"Dengan melibatkan diri dalam upaya ini, kita semua dapat berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih aman dan mendukung, di mana setiap individu merasa terlindungi dan dihargai. Kesadaran kolektif dan tindakan berani dari masyarakat adalah kunci untuk merubah stigma seputar kekerasan dan membantu korban mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.”, tutup Ruth dalam penjelasannya.
Seminar ini juga menampilkan video edukatif tentang stop kekerasan dan mengajak untuk berani “Speak Up” atau melapor tindak kekerasan yang terjadi pada lingkungan sekitar, dan video launching Gerakan Kemanusiaan Penanganan Stunting di NTT, yang telah diluncurkan oleh Penjabat Gubernur NTT, 12 September 2024 lalu, serta membuka sesi diskusi dan kuis mengajak para peserta untuk aktif berpartisipasi, baik dengan mengajukan pertanyaan, berbagi pandangan, atau menyampaikan pengalaman terkait materi yang telah dijelaskan oleh Kepala Dinas P3AP2KB Provinsi NTT.
Dalam kesempatan ini Ruth Diana Laiskodat juga memberikan hadiah kepada para penanya dan penjawab pertanyaan dalam sesi diskusi dan kuis yang dipandu oleh moderator, sebagai bentuk apresiasi atas partisipasi aktif dari para peserta.
Kegiatan seminar ini menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen kita dalam mengatasi kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak kepada jemaat JEO Kupang. Diskusi yang telah dilakukan menunjukkan betapa pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Setiap pemaparan dan sharing pengalaman telah memberikan wawasan berharga tentang langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mencegah kekerasan.
Julian Ouwpoly-Pattisina, selaku Ketua PGMIT JEO berterima kasih kepada Dinas P3AP2KB atas kolaborasi yang telah terjalin dengan jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba, serta partisipasi aktif dari kita semua dalam kegiatan seminar ini. Penting bagi kita semua untuk diberdayakan dan membuka pikiran kita, agar dapat mengatasi berbagai pertimbangan yang menghalangi kita untuk melapor ketika mengalami atau menyaksikan tindak kekerasan.
" Terima kasih kepada semua yang hadir hari ini; jangan pernah merasa bosan. Meskipun kita sebagai ibu mungkin hanya duduk di rumah, pengetahuan yang kita miliki tidak kalah pentingnya. Mari terus belajar dan berbagi, karena setiap suara kita memiliki kekuatan untuk membawa perubahan”, tutur Julian.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait