Oleh : Andre Koreh
Ada sikap inkonsistensi dan ironis yang ditunjukkan Pejabat Pemda NTT dalam menyikapi kelanjutan Pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah.
Betapa tidak, 8 tahun lalu ( 2016 ) Pemda NTT mengalokasikan dana APBD NTT sebesar Rp1,5 M untuk membiayai belanja modal dalam bentuk Pra Feasibility Study ( Pra FS ) guna meneliti kelayakan pembangunan Jembatan Antar Pulau yang menghubungkan Pulau Flores dan Pulau Adonara sebagai bagian dari realisasi RTRW ( Rencana Tata Ruang Wilayah NTT ) Kabupaten Flores Timur.
Hasil Pra FS ini dilanjutkan dengan pembuatan Feasibility Study ( FS ) pada tahun 2017 menggunakan Dana APBN sebesar Rp. 10 M ( terpakai lebih kurang Rp. 7,5 M ).
Setelah kedua study ini, dilanjutkan lagi dengan beberapa study lanjutan yang dibiayai sepenuhnya oleh PT Tidal Bridge Indonesia sebagai investor dan sebagai mitra pembiayaan dari PT. PLN Persero, antara lain kelanjutan Feasibilty Study dan Pra Desain Jembatan, Study AMDAL Nasional dan AMDAL Internasional ( ESIA ), untuk menilai dampak lingkungan akibat dibangunnya jembatan ini.
Kemudian dilakukan pula Study Konektivitas sebagai salah satu prasyarat yang diminta oleh PT. PLN Persero karena revenew atau benefit dari pembangunan jembatan ini adalah terpasangnya turbin di badan jembatan yang menghasilkan energi listrik ( power plant) untuk memanfaatkan kekuatan arus laut Gonzalo ( serigala/ Spanyol ).
Listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh PLN sebagai energi baru terbarukan ( EBT )dengan potensi 300 MW ( tahap awal akan terpasang 40 MW ) sehingga perlu dikaji apakah listrik yang dihasilkan bisa terkoneksi sesuai standar keamanan dan kebutuhan sistem jaringan listrik eksisiting milik PLN.
Dilanjutkan dengan pengujian teknis oleh lembaga Pendidikan Tinggi ITS ( Institut Teknologi Surabaya ) untuk membandingkan secara akademik sebagai “ second opinion “ atas berbagai study terdahulu.
Semua study dan kajian yang dilakukan, dalam berbagai tahapan analisa, kajian dan penilaian, hasil study mengindikasikan bahwa pembangunan Jembatan Pancasila Palmerah layak dikerjakan, karena sudah layak secara teknis, layak lingkungan, layak pula secara ekonomis.
Artinya dari sisi pembiayaan dan sumber dana serta benefit yang didapat dan resiko yang ditimbulkan, proyek ini sangat menguntungkan warga Flotim dan NTT secara khusus dan Pemerintah Indonesia pada umumnya.
Disamping itu hasil dari dua study awal yang dibiayai APBD NTT dan APBN Kementrian PUPR, berbentuk dokumen study perencanaan menjadi Aset Pemda NTT dan Kementrian PUPR RI.
Dari fakta ini, Pemda NTT sejak awal memang berniat dan mendukung sepenuhnya bahkan mendorong jembatan ini terealisasi.
Namun setelah sekian jauh perjalanan rencana jembatan ini sejak 2016, sikap Pemda NTT mulai “berubah “ pada tahun 2019, dengan alasan yang tidak jelas, terkesan “dingin”,menghindar dan cenderung tidak bersikap walau berbagai upaya pendekatan sudah dilakukan.
Terindikasi dari respon Pemda terhadap dua surat PT. Tidal Bridge Indonesia masing masing surat No. 034- OL / I / 2019, tanggal 10 Januari 2019 tentang “Realisasi Pembangunan PLTAL Pancasila Palmerah Tidal Bridge”, diterima oleh Gubernur NTT saat itu dengan respon disposisi “ untuk diketahui “, padahal isinya Permohonan Respon Pemda NTT soal Amdal Internasional ( ESIA ).
Menyusul surat kedua No.048-OL/ XI/ 2023 Tgl. 23 November 2023 , tentang : “Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut ( PLTAL) Larantuka - NTT” yang ditujukan kapada Pj. Gubernur NTT, isinya meminta agar Pemda NTT mendukung proses perijinan pembangunan Jembatan Palmerah.
Surat kedua ini belum direspon Pj. Gubernur NTT hingga opini ini dibuat.
Sikap “ dingin “ Pemda NTT ini adalah bentuk inkonsisten terhadap kelanjutan Proyek yang bermula dari PFS ( Pra Feasibilty Study ) yang justru dibiayai APBD NTT sendiri 8 tahun lalu.
Di sisi lain, hasil study yang berbentuk dokumen PFS, adalah aset tidak bergerak yang mestinya juga dioptimalkan pemanfaatannya oleh Pemda NTT.
Menjadi aneh ketika di penghujung rangkaian study ini, sikap Pemda NTT justeru “ tidak bersikap”.
Kalaupun ada sikap hati - hati, keraguan dll, justru perlu ada respon balik, untuk mengetahui di titik mana kehati- hatian itu sehingga ada ruang untuk menjelaskan berbagai keraguan.
Padahal ada keuangan negara yang sudah dikeluarkan sejak 2016/2017. Justeru jika tidak bersikap, kebijakan ini bisa dikategorikan sebagai kebijakan yang merugikan keuangan negara dengan kondisi total lost.
Karena dana Rp1,5 M APBD NTT 2016 dan Rp7,5 M APBN 2017, kelanjutannya tidak memberi manfaat apapun bagi rakyat NTT sebagaimana tujuan awal saat diusulkan pemerintah pada waktu itu saat pembahasan anggaran dengan DPRD NTT dan DPR RI kala itu, hingga akhirnya masuk dalam Perda APBD NTT tahun, 2016 dan UU APBN 2017.
Apalagi hasil semua rangkaian study menunjukan, jembatan ini sangat layak dibangun.
Dibalik “sikap tidak bersikap” - nya Pemda NTT, terhadap kelanjutan proyek ini, muncul “perilaku ironi Pemda NTT” yakni sikap berkeras dan ngototnya untuk meloloskan dengan segala cara kebijakan pinjaman daerah melalui dana PEN sebesar Rp1,03 T, pinjaman reguler sebesar Rp. 339 M dengan resiko membayar pokok dan bunga pinjaman 6.3 % per tahun atau setara Rp200 M per tahun hingga 2028.
Kebijakan pinjaman ini , apapun alasannya , jelas membebani fiskal daerah , sehingga butuh solusi strategis dengan sinergitas tinggi di berbagai sektor , diantaranya memberi kemudahan bagi investor yang mau menanamkan modalnya untuk memperkuat fiscal daerah.
Namun ironisnya, disaat ada investor yang mau menanamkan modalnya sebesar $300 jt USA ,atau +\~ Rp4,5 T dalam bentuk Loan dengan bunga rendah, itupun bukan menjadi tanggungan Pemda NTT, sehingga minim resiko karena apapun resiko, semisal gagal, kerugian,dll. ditanggung seluruhnya oleh investor kecuali pembebasan lahan, dukungan sosial dan kelengkapan administrasi pemerintahan, Justeru Pemda NTT “ bersikap untuk tidak bersikap “.
Padahal posisi Pemda NTT hanya sebagai penerima manfaat jembatan yang ada turbin pembangkit energi listriknya.
Di sisi lain ada pinjaman daerah dengan beban bunga yang menggerus fiscal daerah melalui pemotongan DAU / DAK tiap tahun, Pemda NTT bersikap seakan itu bukan masalah? Sungguh sebuah ironi kebijakan publik yang tidak bijak dan patut dipertanyakan komitmen pelayanan publik para pengambil kebijakan. Ataukah ada alasan lain sebagai argumen yang lebih rasional?
Beredar informasi lain (semoga informasi ini tidak benar) bahwa untuk membangun proyek ini telah disiapkan investor lain yang katanya lebih siap dan lebih bagus dari apa yang selama ini sudah dilakukan PT. Tidal Bridge Indonesia.
Siapa dan dari mana investor lain itu? Sejauh mana kesiapannya dan apanya yang lebih bagus, juga belum jelas.
Jika benar ada alternatif investor, mestinya secara bijak Pemda NTT bisa sandingkan dengan progres yang sudah dicapai PT. Tidal Bridge Indonesia selama ini untuk dinilai secara fair.
DPRD NTT- pun bisa bersikap dengan memanggil semua pihak terkait, lakukan RDP termasuk investor alternatif yang katanya lebih siap dan lebih bagus itu, untuk dimintai kejelasan tentang proyek ini.
Setidaknya dengan RDP, Pemda NTT dan DPRD NTT sudah bersikap karena ada aset daerah yang belum optimal dimanfaatkan.
Untuk diketahui, progres proyek PLTAL Larantuka ( Palmerah ) saat ini dimana investor PT. Tidal Bridge Indonesia yang mendapat dukungan pembiayaan penuh dari FMO ( Bank Pembangunan Belanda ), saat ini memasuki tahap - tahap akhir persiapan Penandatanganan MOU Empat Pihak antara Kementrian PUPR, PLN , PT. Tidal Bridge dan Pemda NTT , difasilitasi oleh Deputy II Kantor Staf Presiden ( KSP ) RI.
Hal ini merupakan kelanjutan dari pertemuan pertama di Bina Graha , tanggal 26 Maret 2024 yang lalu. Dilanjutkan dengan pertemuan kedua yang akan dilangsungkan pada Senin , tgl 6 Mei 2024 di KSP Bina Graha - Jakarta mendatang , guna membahas detail MOU Empat Pihak. Pemda NTT diharapkan hadir dan berkontribusi positif pada pertemuan kedua ini hingga MOU ditandatangani .
Selanjutnya diikuti dengan Perjanjian Kerja Sama dan Penandatangan Kontrak Kerja Antara PT. PLN Persero dan PT Tidal Bridge Indonesia hingga pelaksanaan FEED ( Front End Engeneering Desain ) hingga pencairan uang muka oleh FMO sebagai penyandang dana, dilanjutkan dengan serangkaian uji coba lapangan, maka Ground Breaking atau Peletakan Batu Pertama bisa dilaksanakan paling lambat bulan Oktober 2024.
Pertanyaanya, jika semua tahapan proses untuk merealisasikan mimpi rakyat NTT khususnya di Larantuka yakni memiliki jembatan kebanggaan antar pulau , yang juga ada PLTAL( Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut ) dimana PLN dan PUPR siap mendukung, PT. Tidal Bridge dan FMO siap membangun dan membiayai, Pemda NTT mestinya tak punya alasan untuk bersikap dingin apalagi menolak proyek bagus, unik dan bermanfaat untuk org banyak.
Setelah semua syarat dan ketentuan terpenuhi , berbagai pertimbangan dan resiko sudah diperhitungkan, termasuk kesepakatan harga jual listriknya, di tengah kebutuhan NTT akan investasi untuk memperkuat fiscal daerah , bukankah kehadiran proyek ini menjadi salah satu solusi bagi peningkatan PAD NTT?
Maka secara berseloroh bisa dikatakan , “Pemda NTT mestinya tinggal bilang “ ho’o “ saja, atas semua upaya dan kerja panjang nan berliku yang sudah dilakukan selama 8 tahun ini dengan minim resiko, maka NTT akan punya jembatan unik dan ikonik di dunia”.
Bukankah PJ. Gubernur NTT yang berdarah Adonara, patut pula meninggalkan legacy harum dan tercatat dalam sejarah pembangunan NTT walau bertugas hanya sebentar?
Kuasa Direktur PT. Tidal Bridge Indonesia
Ketua Wilayah PII NTT
Dekan FT- UCB Kupang
Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi - UCB Kupang
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait