Mahkamah Agung berpendapat keputusan rapat DPR tersebut sah secara konstitusi. Namun Presiden Soekarno menolak menandatangani penerbitan RUU.
“Desakan Hatta sebagai Wakil Presiden agar Presiden Soekarno menandatangani RUU tersebut tidak dipedulikan,” tulis Deliar Noer.
Riak-riak ketidaksepahaman pikiran Dwitunggal sebetulnya sudah tampak sebelum pelaksanaan Pemilu 1955. Jauh hari sebelum kampanye pemilihan umum digelar, Presiden Soekarno ikut berkampanye.
Bung Karno yang tidak berpartai dan juga tidak dicalonkan dalam pemilu, berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, tahun 1953. Isi kampanyenya mengajak rakyat menolak gagasan negara Islam.
Bagi Hatta hal itu kurang tepat. Dalam sistem kabinet parlementer.
Apa yang dilakukan kepala negara dan wakil kepala negara tidak hanya harus diketahui dan disetujui kabinet. Tapi juga harus sejalan dengan kebijaksanaan kabinet.
Sementara Bung Karno dianggap lebih suka memosisikan diri sebagai pemimpin rakyat dari pada Presiden konstitusional. Bung Karno lebih suka berbicara atau berpidato langsung dengan rakyat di dalam rapat-rapat umum yang itu seakan lebih utama dari pada berpidato di depan DPR.
Bung Karno juga dianggap kerap memasuki urusan yang menjadi wilayah kabinet. Ia pernah menuntut agar disetujui membakar semangat rakyat dalam menghadapi masalah Irian tahun 1950-1951.
“Tuntutan yang terpaksa secara tegas ditolak Perdana Menteri Natsir,” tulis Deliar Noer dalam “Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (1987).
Di sisi lain Bung Karno menginginkan kabinet yang terbentuk dari hasil pemilihan umum 1955 bisa “berkaki empat”, yakni secara inti terdiri atas empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Sehingga ketika kabinet Ali Sastroamidjojo II terbentuk, Bung Karno tidak segera mengesahkannya.
“Ia mencoba agar formatur Ali bisa menerima gagasannya untuk memasukkan PKI ke dalam kabinet”.
Bung Hatta kecewa berat dengan pemikiran sekaligus manuver politik Bung Karno, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya mengingatkan, namun hal itu tidak bisa dikemukakan di depan umum, karena kalau dilakukan merupakan bentuk pelanggaran konstitusi.
Bung Hatta juga tak ingin rakyat Indonesia yang selama ini menganggap Dwitunggal bagai satu badan, menjadi bingung.
Kedekatan Bung Karno dengan Hartini yang kemudian dinikahi, sementara statusnya masih sebagai suami Fatmawati, juga menjadi akumulasi kekecewaan Bung Hatta kepada Bung Karno.
Termasuk juga dengan kegemaran Bung Karno melakukan lawatan luar negeri yang mengikutsertakan rombongan besar, yang terdiri sejumlah menteri, pejabat tinggi dan wartawan.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait