SOE,iNewsTTU.id- Sehubungan dengan pelaksanaan pengukuran kawasan hutan dan penetapan batas kawasan Hutan di Kecamatan KiE, Amanuban Timur, Fatumolo dan Fatukopa berdasarkan surat dari Balai Penetapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKH-TL) wilayah XIV Kupang nomor : S.348.BPKHTL/PPKH/PLA.2/8/2023, tanggal 15 Agustus 2023. Adapun dalam penjelasan yang disampaikan terutama di Kecamatan KiE akan dilakukan Pengukuran di Desa-Desa yang tercangkup dalam wilayah Amanuban yaitu : Desa Falas,Desa Pili, Desa Napi ,Desa Eno Napi, Desa Oenai, Desa Fatukusi, Desa Naileu dan Desa Boti di Kecamatan KiE serta Desa Bileon (Kec. Fatumolo), Desa Kaeneno, Desa Telukh (Kec. Amanuban Timur), Desa Taebone (Kec. Fatukopa).
Terkait program atau proyek Penataan Batas Definitif yang dilaksanakan oleh Balai Pemantapan Hutan (PBKH-TL), telah datang masyarakat dari desa-desa tersebut diatas ke Sonaf-Sonkolo di Niki-Niki, dimana Niki-Niki merupakan pusat kerajaan Amanuban dan masyarakat menyampaikan keluhan terkait klaim dari TIM BPKH bahwa pemukiman-pemukiman penduduk, situs sejarah Tunbes dan kebun-kebun penduduk di Desa-Desa tersebut diatas yang telah dimiliki turun temurun telah masuk dalam kawasan hutan. Demikian barulah diketahui ada 42 (empat puluh dua) desa di seluruh Amanuban yang terdampak pengukuran ini.
Hal ini diungkapkan sekretaris Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban, Pina One Nope kepada iNews.id, Kamis ( 7/9/2023). Pina mengatakan adapun penjelasan Tim saat di kantor desa Falas bahwa : Proyek/ program ini bertujuan untuk membebaskan areal-areal fasilitas umum (hanya disepanjang jalan desa) dan diubah menjadi APL (Area Penggunaan Lainnya) yang kemudian tanah-tanah APL ini bisa dimiliki masyarakat untuk pengurusan Sertifikat Hak Milik (SHM). Sedangkan lahan yang tidak dibebaskan yaitu tanah-tanah selebihnya adalah hak Pakai saja dan masyarakat bisa mengelola dengan ijin Kehutanan untuk 35 tahun dan ijin ini bisa diperpanjang 35 tahun lagi bila diijinkan oleh Kehutanan.
Warga berdialog dengan Sekretaris Masyarakat Adat Amanuban, Pina One Nope (kiri) menolak klaim batas hutan oleh Dinas Kehutanan. Foto : Ist
Dijelaskan pula bahwa Penetapan Kawasan Hutan Laob-Tunbes adalah berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI tahun 2014 (2016?). Demikian diminta masyarakat mendukung penuh program ini. Didalam pertemuan inilah baru diketahui bahwa seluruh wilayah administrasi Desa Falas (95%) telah masuk dalam kawasan Hutan Laob Tunbes. Begitu juga menurut masyarakat di Desa Pili hampir 85% adalah kawasan hutan, sedangkan wilayah administrasi Desa Fatukusi 100% masuk kawasan hutan, Desa Napi dan Eno Napi lebih dari 75% kawasan hutan dan seterusnya sehingga persoalan ini telah menimbulkan keresahan yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat di Desa-Desa tersebut diatas.
Pina juga mengatakan bahwa persoalan klaim sepihak dari Kehutanan atas tanah-tanah rakyat ini adalah sangat berkaitan erat dengan Hak Hidup Banyak Orang, sebab tanah-tanah dan permukiman tersebut adalah bagian hidup dan ruang hidup rakyat Amanuban yang tak terpisahkan sejak beratus-ratus tahun lalu, terutama situs bersejarah Tunbes adalah Ibu Kota pertama Amanuban mula serta perkampungan-perkampungan di sekelilingnya sebagai kota-kota penyanggah.
" Bahwa kami tidak berkeberatan apabila program pembebasan kawasan hutan itu dilakukan pada hutan lindung yang telah diakui masyarakat, tetapi kami menolak klaim terhadap kawasan permukiman dan tanah-tanah masyarakat yang selama ini didiami masyarakat untuk menjadi kawasan hutan negara yang kemudian hak kami dibatasi menjadi Hak Pakai selama 35 tahun," Ujar Pina.
Mengenai kegiatan ini, kami berpendapat bahwa apabila kami mengakui adanya pembebasan nominal tanah-tanah (hanya di ruas-ruas jalan desa) menjadi APL, maka secara hukum juga kami dianggap telah mengakui tanah kami yang belum dibebaskan itu sebagai benar-benar kawasan hutan negara. Mencermati berbagai peristiwa di daerah lainnya di Indonesia terutama tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat Adat di Pubabu/ Besipae, kami juga menyadari bahwa sewaktu-waktu negara bertindak sama dan menggunakan perangkat militer dan Hukum untuk menguasai tanah-tanah masyarakat yang telah hidup dan berakar selama ratusan tahun;
Bahwa tanah-tanah, kebun-kebun, rumah-rumah tinggal yang berada di dalam wilayah yang diklaim oleh BPKH sebagai kawasan Hutan adalah tanah-tanah, kebun-kebun yang telah didiami dan diwarisi oleh orang-orang Amanuban selama ratusan tahun secara turun temurun (batan nao neu batan) jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke pulau Timor.
Oleh karena itu, kami dari Kesatuan Masyakat Hukum Adat Amanuban menyatakan tegas :
1. Menolak klaim Pemerintah melalui instasi Kehutanan untuk menguasai dan memiliki tanah-tanah masyarakat Amanuban tanpa suatu dasar hukum yang sah;
2. Bahwa wilayah-wilayah Adat Amanuban mencangkup Kecamatan KiE, Kecamatan Fatumolo, Kecamatan Fatukopa, Kecamatan Amanuban Timur, Kecamatan Amanuban Tengah, Kecamatan Oenino, sebagian Kecamatan Polen, Kecamatan Kuatnana, Kecamatan Kolbano, Kecamatan Kotolin, Kecamatan Kuanfatu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kecamatan Noebeba, Kecamatan Kualin, Kecamatan Batu Putih, Kecamatan Amanuban Barat dan sebagian Kecamatan Kota Soe;
3. Agar wilayah point 2 tersebut tersebut, tidak dapat dilakukan penetapan kawasan hutan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat yang telah mendiami tanah-tanah tersebut turun temurun;
4. Kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk segera membatalkan/ mencabut SK Menteri Kehutanan tentang penetapan kawasan hutan Laob Tunbes yang sangat merugikan rakyat tersebut;
5. Agar Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia, dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, dari Balai Pemantapan Kehutanan NTT, dari Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah Kabupaten TTS mempertanggungjawabkan dan memberi klarifikasi dari tentang dasar penetapan tanah-tanah rakyat yang sudah didiami ratusan tahun tersebut menjadi kawasan hutan Laob Tunbes;
6. Untuk pemerintah tidak boleh memperlakukan kami seperti masyarakat di pulau-pulau lainnya dimana Pemerintah setelah mengklaim tanah-tanah sebagai kawasan hutan, lalu dengan berjalannya waktu beralih fungsi HGU ke pengusaha untuk Perkebunan Sawit dan Areal Pertambangan;
7. Bahwa tindakan seperti ini akan merugikan Pemerintah dan keutuhan kesatuan Republik Indonesia itu sendiri;
Sementara itu warga Desa Fatukusi Kecamatan KiE dan Desa Nifulinah Kecamatan Fatukopa juga menolak rencana Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV di Kupang yang rencananya akan dilakukan pengukuran dan pemasangan batas definitif.
Surat penolakan ini ditandatangani oleh Nitanel Nuban, Santo Kikhau, Semuel Kikhau dan Yustus Bosoin yang mewakili warga Fatukusi, sementara itu mewakili masyarakat adat Desa Nifulinah ialah Kepala Desa Marthinus Tkela di cap dan tanda tangan. (*)
Editor : Sefnat Besie