KUSNI Kasdut, Pejuang Kemerdekaan yang Dihukum Mati Tanpa Gelar Pahlawan Karena Hal Ini.
Memang Tidak selamanya mereka yang bergerilya di medan perang semasa perjuangan kemerdekaan, berakhir dengan sebutan pahlawan. Gelar pahlawan tidak akan pernah disematkan kepada Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut, mantan pejuang sekaligus dikenal sebagai perampok legendaris. Pria asal Malang, Jawa Timur ini pernah membuat heboh publik yang hingga kini terus dikenang.
Kusni tidak hanya populer di kalangan masyarakat Blitar, tapi juga secara nasional. Pada tahun 1963, Kusni nekat merampok Museum Nasional Jakarta. Kusni dikenal bernyali sekaligus licin. Saat hendak ditangkap di Semarang, Jawa Tengah, ia melawan dan seorang polisi tewas tertembak.
Sejak itu Kusni Kasdut menjadi penjahat yang paling dicari di Indonesia. Aksi kejahatannya tak berhenti. Ia menculik seorang dokter di Surabaya dan kepada keluarga si dokter dimintanya uang tebusan. Bahkan, Kusni merampok seorang miliarder keturunan Arab di Jakarta dan membuat si miliarder tewas.
Kusni Kasdut tertangkap berulangkali. Namun berkali-kali pula berhasil kabur dari penjara yang membelenggunya. Penjara Semarang, Kalisosok Surabaya, dan Cipinang Jakarta, dengan mudah diterobosnya. Kepada polisi yang menangkapnya, Kusni Kasdut selalu mengaku berasal dari Blitar.
Ia mengatakan lahir di Desa Jatituri, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar pada akhir tahun 1929. Dalam buku “Kusni Kasdut”, Parakitri menulis, Kusni Kasdut bukan berasal dari Blitar dan Malang. Kusni lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung.
Kendati demikian publik telanjur lebih memercayai Kusni Kasdut berasal dari Blitar. Baca Juga Kisah Perang Bubat antara Majapahit dengan Sunda di Lapangan Ibu Kota Yang tidak banyak diketahui, pada peristiwa 10 November 1965 di Surabaya, Kusni Kasdut ikut berjuang di garda depan.
Ia juga berjuang pada saat agresi Militer Belanda. Petualangan Kusni Kasdut sebagai penjahat besar akhirnya berakhir. Setelah Presiden Soeharto menolak grasi yang diajukan, pada 6 Februari 1980, Kusni Kasdut menjalani eksekusi hukuman mati. Jauh sebelum peristiwa perampokan Museum Nasional Jakarta (1963) yang membuat namanya melegenda, Kusni Kasdut adalah pejuang kemerdekaan.
Tidak banyak yang mengetahui cerita itu. Yang dipahami banyak orang, Kusni yang pernah mengenyam sekolah teknik adalah seorang penjahat besar yang ditakuti. Sebagai tentara di batalyon Matsumura Malang, ia banyak digembleng ilmu perang. Mengoperasikan senjata, mempelajari ilmu penyamaran, bertempur, menyabotase, bergerilya.
Pangkat terakhirnya Jokotei. Saat Jepang bertekuk lutut, Kusni masuk ke dalam barisan pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Baca Juga Kisah Pertarungan 2 Santri Jombang Surontanu Lawan Joko Tulus karena Beda Prinsip BKR didirikan empat hari setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan.
Saat itu, kabar Proklamasi Kemerdekaan di kalangan pejuang lebih dulu tersebar. Euforia kemerdekaan sontak meluber ke mana-mana. Di jalan-jalan, lazim terlontar pekik merdeka. Tidak terkecuali di Malang. Tempat Kusni berjuang sekaligus bertempat tinggal. ”Bung Kusni”, begitu sesama laskar pejuang kemerdekaan memanggilnya. Seorang pemurung pendiam yang berkulit cerah. Berkumis tipis. Posturnya tidak tinggi.
Berperawakan kecil sekaligus tidak bertulang besar. Namun liat dan bertenaga kuat. Sorot mata Kasdut tajam dan pemberani. Solidaritasnya sesama pejuang juga tinggi. Saat itu namanya masih Kusni. Baca Juga Pertarungan Sengit Santri KH Hasyim Asy'ari Melawan Pendekar Sakti dari Lokalisasi Kebo Ireng Belum ada tambahan Kasdut di belakangnya.
Kusni juga terlibat aksi pelucutan senjata tentara Jepang. Di Malang. Ia ikut memimpin penyerbuan gudang-gudang senjata. Menggasak amunisi sekaligus membagi-bagikan ke sesama pejuang. Tidak terkecuali aset-aset vital.
Kusni juga ikut merebut paksa. Tentara Jepang yang mentalnya sudah ambruk karena kalah perang, ditawan. Yang nekat melawan, dengan terpaksa mereka habisi. Jelang akhir Oktober 1945. Surabaya yang kelak menjadi ibu kota Jawa Timur, tengah bergolak.
Inggris dengan NICA yang diboncengi tentara Belanda hendak menjajah kembali Indonesia melalui Surabaya. Kusni Kasdut berasal dari Blitar. Begitu cerita yang telanjur tersebar luas.
Kelak saat diinterogasi aparat kepolisian Semarang, Jakarta, dan Surabaya, atas aksi kejahatan yang dilakukan, ia juga menyampaikan cerita serupa. Ia selalu mengaku lahir di Desa Jatituri, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, pada akhir tahun 1929.
Cerita tentang asal-usul Kusni Kasdut dari Blitar, datang dari Kastun. Kisah itu diungkap saat Kusni hendak pamit berjuang mengusir penjajah Inggris, dan Belanda, di Surabaya. Bukannya percaya. Kusni Kasdut malah marah.
Termasuk bapaknya yang dikatakan seorang Lurah Jatituri yang mati karena disiksa Jepang, Kusni juga tak percaya.
Beragam pertanyaan berpusing di kepalanya: ”Kenapa selama ini dirahasiakan? Ada apa? Kenapa tidak tinggal saja di Blitar? Kenapa hidup dengan menyewa rumah di Malang?. Kusni Kasdut sempat mendatangi Desa Jatituri, Blitar, dan menemui kepala desa di sana”. Namun ia mendapati jawaban yang mengecewakan.
Nama-nama yang disebut ibunya, tidak pernah ada. Kecurigaanya terlahir sebagai anak haram makin berlipat. Kekecewaannya ditumpahkan dengan ancaman tidak sudi pulang sebelum ibunya bercerita yang sebenarnya. Kusni Kasdut ternyata memang bukan berasal dari Blitar.
Juga bukan dari Malang.Kusni lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung. Sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar. Wonomejo, ayahnya bukan kepala desa. Ayahnya seorang petani biasa.
Sebelum menikahi Kastun dan memiliki anak Kusni Kasdut , Wonomejo sudah memiliki istri dengan delapan anak. Sementara Kastun sebelumnya adalah istri adik kandung Wonomejo, yang dari pernikahannnya dikaruniai satu anak perempuan yang diberi nama Kuntring.
Setelah suaminya meninggal, Kastun menjanda. Tidak berselang lama, istri Wonomejo meninggal.Diam-diam Wonomejo menikahi Kastun yang sebelumnya adalah adik iparnya. Pernikahan yang disembunyikan itu yang membuat mereka digunjingkan warga. Apalagi saat itu Kastun mengandung Kusni Kasdut.
Beginilah kisah seorang pejuang kemerdekaan yang berakhir tragis.
Editor : Sefnat Besie