KUPANG,iNewsTTU.id-- Ratusan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) mengikuti Kuliah Umum "Melawan Radikalisme dan Intoleransi: Memperkuat Harmoni dalam Kehidupan Kampus" yang diselenggarakan pada Selasa,(24/06/2025).
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber terkemuka yaitu Rektor Universitas Muhammadiyah Kupang, Prof. Dr. Zainur Wula, dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah NTT, Drs. Husen Anwar.
Dalam pemaparannya, Rektor UMK, Prof. Zainur Wula menyoroti bagaimana pengaruh globalisasi melalui dimensi geopolitik dan geoekonomi turut membentuk lanskap sosial di Indonesia.
Menurut beliau, posisi strategis Indonesia yang berada di persimpangan lalu lintas ekonomi antara negara-negara di belahan timur dan barat, menjadikan Indonesia target berbagai kepentingan global
"Indonesia, sebagai negara dengan peringkat ke-14 terbesar di dunia dan memiliki sumber daya alam yang melimpah, secara otomatis menarik orang dari berbagai negara. Daya tarik ini, juga menghadirkan bagaimana ideologi asing, termasuk yang bersifat radikal bisa masuk melalui interaksi global," ujarnya.
Prof. Zainur menjelaskan, dinamikan geopolitik dan geoekonomi seringkali memicu pergeseran nilai dan pandangan hidup masyarakat. Tanpa fondasi yang kuat, hal ini dapat menjadi lahan subur bagi penyebaran paham radikalisme dan intoleransi.
Lebih lanjut, Prof. Zainur Wula juga menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila. Baginya, Pancasila bukanlah sekadar dasar negara, melainkan sebuah filosofi hidup yang relevan dengan kultur dan budaya sosial masyarakat Indonesia yang beragam.
"Pendalaman Pancasila, bukan hanya dalam tataran teori tetapi juga implementasi dalam kehidupan sehari-hari, inilah kunci untuk memperkuat harmoni," pungkasnya.
Senada dengan Prof. Zainur, Drs. Husen Anwar dari MUI NTT turut memperkuat urgensi pemahaman kebangsaan dan nilai-nilai moderasi beragama. Ia menguraikan bagaimana isu terorisme dapat membentuk radikalisme yang kemudian muncul dari paham ekstrimisme, dan ekstrimisme itu sendiri berakar dari pemahaman-pemahaman semu.
"Seringkali, radikalisme muncul dari interpretasi keagamaan yang sempit dan tidak komprehensif," jelas Drs. Anwar.
Menurutnya, paham radikalisme adalah aliran yang bertujuan untuk mengubah tatanan sosial dengan cara-cara ekstrim. Sementara, intoleransi dikatakannya sebagai sikap tidak menerima perbedaan, tidak menghormati bahkan, dan bahkan mengklaim kebenaran mutlak atas suatu pandangan.
Drs. Anwar juga menekankan bahwa sikap-sikap tersebut seringkali muncul akibat pemahaman keagamaan yang dangkal dan terputus dari konteks sosial serta nilai-nilai kemanusiaan universal.
"Pemahaman keagamaan sempit inilah yang berpotensi menimbulakan perpecahan," pungkasnya. Oleh karena itu, moderasi beragama, yakni cara beragama yang tidak berlebihan, tidak ekstrim, dan selalu mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi menjadi dasar dalam membangun harmoni di tengah keberagaman.
Lebih lanjut, Benediktus Pusjoyo Kedang, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, mengungkapkan apresiasinya terhadap kegiatan ini. Menurutnya, kuliah umum ini sangat penting sebagai upaya agar mahasiswa mampu memahami bahaya intoleransi dan radikalisme.
"Pancasila sebagai landasan ideologi yang kokoh harusnya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari," kata Benediktus.
"Tentu ini sebagai upaya agar generasi muda khususnya mahasiswa tidak terperangkap dalam pemahaman-pemahaman yang keliru," tambahnya.
Di internal kampus, Benediktus yang juga Ketua Umum Dessausure Comunity di bidang Bahasa dan Sastra ini menegaskan komitmen mahasiswa untuk menerapkan sikap-sikap yang menjauhi radikalisme dan intoleransi.
"Tentu hal yang kami terapkan adalah sikap yang mengarah pada kerukunan dan toleransi, bukan radikalisme dan intoleransi," tutupnya.
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait