get app
inews
Aa Text
Read Next : Amankan Pilkada Kota Kupang, Kapolresta Siapkan 184 Personil jaga 552 TPS

Masa Tenang Pilkada tidak Membuat Aktivis dan Pejuang Agraria di Soe Diam Saksikan Ketidakadilan

Selasa, 26 November 2024 | 11:35 WIB
header img
Massa Aktivis dan Pejuang Agraria di Soe tidak tinggal diam dalam masa tenang Pilkada, perjuangkan hak rakyat atas tanah mereka. Foto : Ist

 

SOE,iNewsTTU.id- Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan mengklaim tanah-tanah rakyat di 115 desa seluruh Kabupaten TTS serta perubahan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional memantik aksi demonstrasi.

Tergabung dalam Aliansi Timor Raya, ada 15 organisasi dan satu lembaga Adat yaitu Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban melakukan aksi demonstrasi di Depan kantor Bupati TTS.

Aksi dimulai dengan long march yang dimulai dari cabang dua jalur di bawah polres TTS dan sambil berorasi Aliansi Timor Raya menuju ke kantor Bupati TTS.

Aksi massa dari Aliansi Timor Raya ini sempat tertahan di depan pintu gerbang kantor Bupati TTS yang mana para demonstran ini dihadang oleh barikade Kepolisian Pamong Praja dan anggota Polres TTS.

Para aktivis muda yang merupakan mahasiswa asal TTS seperti IKMABAN (Ikatan Mahasiswa asal Amanuban) dan IKMAS terprovokasi dengan barikade ini dan mulai mengeluarkan orasi dan kalimat yang tajam.

Walaupun diguyur hujan, massa tetap bertahan di depan kantor Bupati TTS dan mereka meminta agar bisa bertemu dengan Pj. Bupati TTS. 

Penjabat Sekda TTS, Denny Nubatonis sebagai perwakilan dari pemerintah Daerah menolak permintaan ini dan hanya mengijinkan 5 orang perwakilan dari aksi massa. 

Walaupun demikian massa tetap bertahan bahkan meminta agar Pj. Bupati TTS yang datang ke pintu gerbang untuk mendengarkan aspirasi namun Pj. Bupati TTS menolak. 

Setelah dilakukan tawar menawar yang alot bahkan berjalan 3 jam lamanya akhirnya Bupati TTS bersedia menerima 18 orang perwakilan dari aksi massa tersebut.

Audiens dilakukan di ruang Bupati dalam keadaan para demonstran basah kuyup. 

Pina Ope Nope dari Sonaf Amanuban Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban menyampaikan terlebih dahulu sebagai perwakilan masyarakat Adat Amanuban.

Pina mengatakan sudah satu tahun konflik kehutanan yang dibuat oleh pihak kementerian Kehutanan dan BPKH Provinsi NTT. Mereka memasang patok di 45 desa di Amanuban. Bahkan menurut dokumen Ombudsmann ada 115 desa yang di TTS yang terdampak kawasan hutan Laob Tumbesi.

" Tanah-tanah rakyat dimasukkan menjadi kawasan hutan Laob Tumbesi pada tahun 1983 oleh Bupati TTS, Piet A. Tallo tapi kemudian nama kakek saya raja Amanuban Usi PaE Nope yang dibawa- bawa untuk mendiskreditkan nama besar keluarga Nope. Dahulu jaman tahun 1960 pemerintah menggalakkan istilah raja itu Feodal dan harus dihapus," jalas Pina.

Pina menambahkan saat ini Negara NKRI mau merampas tanah rakyat maka nama keluarga Raja Amanuban difitnah.

"Negara apa ini? Saya disini untuk meluruskan kebohongan negara sekaligus memperjuangkan hak rakyat yang dirampas negara," tegas Pina Ope Nope menyampaikan unek-unek didepan Pj. Bupati TTS beserta jajarannya di dalam ruangan Bupati.

Defri Sae tokoh pemuda Amanuban dari Desa Napi kecamatan Kie mengatakan atas kepemimpinan Usif Amanuban sejak dahulu kala, mereka tidak pernah dijajah Belanda tapi sekarang saat mereka sudah bergabung dengan Republik Indonesia tapi justru tanah-tanah adat mereka mau diambil secara paksa.

Sementara salah seorang tokoh adat dari desa Oenai, Amnon Lette mengatakan bahwa  Bupati TTS adalah ayah dan ibu mereka, maka dikala Bupati dan Pemerintah Daerah tidak bisa melindungi kepentingan rakyat maka mereka akan kembali ke sistem pemerintahan raja dahulu dengan kembali kepada sistem Usif, Temukung, Meo dan Anaamnes.

" Kalau pemerintah tidak pro kepada rakyat, lebih baik kami kembali ke sistem pemerintahan raja dahulu dengan kembali kepada sistem Usif, Temukung, Meo dan Anaamnes," tegas Lette dengan mata berkaca-kaca.


Massa aliansi audiensi dengan Pj. Bupati TTS, Edison Sipa. Foto : Ist.

Nikodemus Manao dari ITA PKK dan AGRA menyampaikan bahwa kalau pemerintah memberikan ruang bagi kehutanan untuk menguasai Mutis maka TTS akan krisis air bersih dan jangan tunggu alat negara yang menggusur rakyat asli Timor dari tanahnya sendiri.

 "Air mata kami di Pubabu belum kering. Cukup kami saja di Pubabu yang merasakan jangan masyarakat Amanuban lainnya dan masyarakat Mollo ikut merasakan duka yang sama" ungkap Nikodemus.

Aldy Benu dari IKMAS TTS ( Ikatan Mahasiswa asal TTS ) menyangkan kelemahan Pemda dalam menyikapi isu Laob Tumbesi dan taman Nasional Mutis. 

"Kami meminta ketegasan Pemda akan status Mutis dan Laob Tumbesi " tegas Benu.

Yoksan Mailam dari FMN menegaskan hal ini adalah grand desain ( desain besar) pemerintah pusat untuk menguasai tanah dan sumber daya alam TTS.

 "ini adalah grand desain pemerintah pusat untuk menguasai sumber daya alam masyarakat Timor. Saya bukan orang asli Timor, saya dari Alor tapi saya punya kepedulian. Presiden Jokowi dalam 10 tahun terakhir hanya menguras kekayaan alam secara besar-besaran dan pemerintah Daerah kabupaten TTS harus jeli melihat permainan oligarki" tegas Yoksam.

Audiens ditutup dengan pernyataan rillis Pers dari Penjabat Bupati TTS, Edison Sipa, bahwa pemerintah Daerah menampung aspirasi dari masyarakat dan ia akan mengirimkan surat kepada kementerian Kehutanan Republik Indonesia ( Selasa, 26/11/2024) tentang dua hal yang ditolak oleh masyarakat TTS ini.

"Saya sebagai Penjabat Bupati TTS akan menandatangani surat kepada menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai bentuk penyampaian aspirasi masyarakat kepada negara," tutup Pj. Bupati TTS.

Editor : Sefnat Besie

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut