KEFAMENANU, INEWSTTU.ID- Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Januari-Oktober 2022 terdapat 20 kasus. Demikian disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Kabupaten TTU, Petrus Nahak, Senin (14/11/2022) di ruang kerjanya.
Petrus Nahak mengatakan, pihaknya hampir setiap hari menerima pengaduan kekerasan seksual terhadap anak. Pelaku merupakan orang terdekat korban seperti ayah kandung, ayah tiri, om kandung dan kakak laki-laki korban. Diharapkan peran orang tua dalam hal ini para ibu agar ektra waspada atas semua kemungkinan yang terjadi.
Menurut petrus Nahak pencegahan berupa sosialisasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah dilakukan di sejumlah sekolah.Namun pihaknya kekurangan anggaran dan rumah tempat penampungan anak-anak korban kekerasan seksual. Pasalnya anggaran yang disiapkan Pemda TTU setiap tahunnya hanya sebesar Rp.60 juta. Sementara kasus kekerasan tersebut ditangani setiap hari. Artinya hanya sanggup membiayai transportasi selama setahun.
Edukasi bagi masyarakat, pihaknya telah mencanangkan Desa Layak Anak (DLA) untuk Desa Bijaepasu, Kamis, (13/10) dan Desa Kuanek, Jumat, (14/10).
“Semestinya banyak bantuan yang perlu diberikan kepada korban. Berupa fasilitas ruangan khusus, bantuan sosial, penanganan medis maupun psikis korban. Namun keterbatasan anggaran, sehingga sosialisasi hanya dapat dilaksanakan setahun sekali,” jelasnya.
Berdasarkan data Pengadilan Negeri Kefamenanu, Januari-September menangani 12 perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur. Empat kasus kekerasan rumah tangga. Putusan 11 perkara dan pelaku mendapatkan hukuman kurungan penjara.
“Kita telah putuskan 11 perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur.Pelakunya orang terdekat.Kasus ini menjadi perhatian khusus bagi kami penegak hukum,” jelas Juru Bicara Pengadilan Negeri Kefamenanu, Arvan As'ady P. Pratama, Senin, (14/11).
Sementara Kapolres TTU AKBP. Moh. Mukhson ketika ditemui diruang kerjanya, selasa, (15/11) mengatakan penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur, sebagian besar pelaku dipengaruh minuman keras (miras). Persetubuhan anak di bawah umur terjadi sebanyak 19 kasus, akibat minuman keras sebanyak 13 kasus Sehingga presentasenya 68,42%.
Wakil Bupati Kabupaten TTU, Eusabius Binsasi saat ditemui diruang kerjanya, (14/11), berjanji dalam sidang perubahan APBD akan menambahkan anggaran untuk penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur pasalnya ada pengurangan anggran yang sebelumnya 1,2 triliun namun tahun 2022-2023 ada penurunan hingga kurang lebih puluhan miliar.
Wakil Ketua II DPRD TTU Yasintus Lape Naif mengungkapkan, pihaknya menyambut baik penambahan anggaran pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan membahas bersama dalam sidang nanti berdasarkan keuangan daerah.
“Kita Pimpinan DPRD TTU menyambut baik karena ini berkaitan dengan masa depan penerus bangsa, asalkan Pemda TTU menyiapkan dokumen untuk dibahas,” ungkapnya
Direktur Yabiku NTT Filyana Tahu mengatakan moralitas masyarakat dipertaruhkan dan pencegahan kekerasan seksual bukan saja dirumah, sekolah.Tetapi pemerintah dan semua komponen harus merasa punya tanggung jawab yang sama terhadap pencegahan.
Dirinya menentang Restorative justice dan penyelesaian adat terhadap kekerasan seksual pada anak.
“UU melarang kekerasan seksual terhadap anak diselesaikan secara damai ataupun secara adat dan apapun alasannya. Jika mereka yang menginisiasi tentang damai, mereka juga akan berhadapan dengan hukum tanpa terkecuali,” tegasnya.
Perda TTU Nomor 15 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan perlindungan anak, katanya, telah menjelaskan kehadiran undang-undang perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Sesuai dengan spirit yang dihembuskan Undang Undang Perlindungan Anak, maka anak dilekatkan sederetan hak dan kewajiban.
Ia melanjutkan, ada tiga sasaran pelayanan Yabiku NTT, yaitu perempuan dan anak (baik laki laki dan perempuan), serta penyandang disabilitas dengan visi perempuan dan anak hidup terhormat tanpa kekerasan dengan. Misi, tim yang setara bersolidaritas dan berkualitas, anak ceria, masa depan cerah.
“Atas dampingan Yabiku NTT, maka sekarang terbentuk sistim berbasis komunitas di masyarakat. Saya berharap Pemda TTU tetap menjaga komitmennya untuk mewujudkan Kabupaten TTU yang ramah pada perempuan dan anak, yang dimulai dari Desa dan kelurahan,” ungkapnya.
Psikolog Maria Florida Dasilva menyayangkan maraknya kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak dibawah umur. Pasalnya trauma kekerasan sesksual pada masa kanak-kanak memiliki konsekuensi psikologis negative jangka panjang, bagi korban anak perempuan dan anak laki-laki.
Efek psikologis jangka pendek, dapat segera terlihat setelah korban megalami kekerasan seksual. Misalnya depresi, murung, gangguan emosional, menyendiri dan mengalami kegelisahan.
Efek psikologis jangka panjang, jelasnya, dapat terlihat pada gangguan disfungsi sosial, penyimpangan seksual, depresi hebat, kecemasan yang tidak terkendali, ketakutan, kecurigaan yang berlebihan, agresivitas, dan antisosial.Serta melakukan kekerasan seksual karena ingin balas dendam dan keinginan menyakiti diri sendiri.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Timor Tengah Utara ini mendapat perhatian serius oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nusa Tenggara Timur yang mana bersama UNICEF meluncurkan program Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat dan Anak di 5 Kabupaten Pulau Timor, yakni Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Belu dan Kabupaten Malaka.
Reno Raines Saingo selaku area Koordinator PKBI NTT mengatakan, program ini dilakukan pelatihan training of trainer bagi pelatih yang melibatkan Dinas Pendidikan, DP3A, Dinas Kesehatan, yang nantinya akan menjadi trainer di kabupaten masing-masing dan training komunikasi agen perubahan yang melibatkan 16 sekolah dan 4 komunitas di kabupaten masing-masing.
Kemudian para komunikator yang sudah dilatih dapat membantu dalam melakukan kampanye di lingkunagn sekolah maupun komunitas melalui metode-metode yang sudah dilatih. Selain itu, juga dilakukan berbagai kampanye dan sosialisasi dengan menyasar kelompok remaja (anak usia sekolah) dan masyarakat umum terkait isu kekerasan terhadap anak dan kesehatan reproduksi remaja, hak anak, perkawinan usia anak, stunting, literasi digital, imunisasi rutin dan vaksin-19.
“Diharapkan informasi yang disampaikan oleh komunikator secara terus menerus dapat membekas pada siswa-siswi di sekolah dan juga para anggota komunitas sehingga nantinya dapat mencegah kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur," ujarnya pada Minggu (20/11).
Editor : Sefnat Besie