Warga Amanuban Tegaskan Pemerintah Jangan Ambil Tanah Adat Mereka

Rudy Rihi Tugu
Masyarakat Adat Amanuban menemui Kepala Balai Pemantapan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV Kupang bahas masalah tanah adat. Foto : Ist


KUPANG,iNewsTTU.id- Masyarakat adat Amanuban menemui Kepala Balai Pemantapan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV Kupang guna membahas permasalahan batas tanah adat Laob Tunbes, Jumat (22/9/2023).

Masyarakat Adat Amanuban berpendapat bahwa langkah penetapan Kawasan Hutan oleh pihak kementrian Kehutanan dengan bermodalkan pasal 33 UUD 1945  dan pasal 4 ayat 2 dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sangat berpotensi disalah gunakan sebab ini seolah-olah telah memberikan keluasan kepada Kementrian kehutanan untuk : “Mengatur, mengurus hal yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, serta Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan hasil hutan” secara leluasa bahkan secara sewenang-wenang.

Bahkan warga menilai produk perundang-undangan ini dianggap telah dengan serta merta dapatlah mengabaikan keberadaan “Hak Purba” termasuk didalamnya Hak Purba dari Masyarakat asli dan adat Amanuban dan jelas kemudian, untuk mencapai tujuan terutama pada klausul tentang “Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan hasil hutan” maka pemerintah melalui Kementrian Kehutanan menerbitkan SK tentang penetapan kawasan hutan Laob-Tumbes yang dengan sewenang-wenang dan mengabaikan Hak Purba lalu memasukan permukiman-permukiman masyarakat dan tanah-tanah masyarakat menjadi kawasan hutan tanpa meminta ijin masyarakat sebagai pemilik tanah yang sudah mendiami tanah-tanah ini dari generasi ke generasi.

Menanggapi hal itu Kepala Balai Pemantapan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV Kupang Anwar S. Hut. M.Si mengatakan akan membawa aspirasi masyarakat adat Amanuban ke tingkat atas.

" Warga Amanuban datang menyampaikan aspirasinya terkait kawasan yang kita sebut Laob-Tunbes, dan kita berpikir bersama untuk dicarikan jalan keluarnya dan ada permintaan untuk hal ini dibawa ke jakarta jadi nanti aspirasinya kami bawa ke pusat," Ujar Ahmad.

" Tadi dari kepala balai memberikan penjelasan kepada kami masyarakat amanuban tentang tahapan yang sudah dilalui terkait SK Menteri Tahun 1983 dan terakhir tahun 2016 yang dipakai untuk mematok kawasan masyarakat adat untuk dijadikan kawasan hutan, maka kami dengan tegas menolak opsi- opsi yang diberikan. kami cuma minta satu hal yakni SK menteri tersebut segera dicabut, ini penting bagi keutuhan NKRI karena eksistensi masyarakat Amanuban terancam dimana ada 42 desa ditambah wilayah Amanatun dua Desa dan Mollo satu Desa,  tapi setelah kami telusuri saya dapati ada sekitar 70an Desa, contoh Desa Fatukusu dan Desa Besleu itu seratus persen masuk kawasan hutan, dan Desa Falas sembilan puluh lima persen kawasan hutan. dan lebih anehnya bukan hutan konservasi atau hutan alam tapi malah jadi hutan produksi, ini jadi tanda tanya kami warga Amanuban karena tidak sesuai lagi dengan dokumen belanda dan sekaligus bertentangah dengan UUD 1945 yang berbunyi penjajahan diatas dunia harus dihapuskan," Ujar Sekretaris Masyarakat Adat Amanuban, Pina One Nope.

Ahmad Natonis, selaku Koordinator Keluarga Besar Diaspora Timor Tengah Selatan di Jakarta yang turut hadir saat audiensi ini menambahkan mereka tidak mengenal istilah Laob- Tunbes, karena kawasan hutan tersebut adalah murni milik masyarakat adat Amanuban secara turun- temurun bukan pemerintah.

" Meresponi masalah yang dihadapi saudara- saudari kami di Amanuban atas masalah ini maka pada 15 September 2022 lalu, kami melakukan demo di kantor Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta untuk meminta semua yang dilakukan oleh Balai Pemantapan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV Kupang untuk segera dicabut karena orang Amanuban tidak kenal itu hutan Laob- Tunbes, kami yakin hal ini  adalah bagian dari pengkondisian pemberian ruang bagi investor untuk mengeruk sumber alam Amanuban. kami juga akan kembalikan semua pilar yang dipasang kepada pemerintah lewat pemerintah desa," tegas Ahmad.

Pangeran Pa'e Nope yang merupakan putra mahkota ke 16 Raja Amanuban dan anak dari alm.Kusa Nope yang merupakan mantan Bupati pertama Kabupaten TTS 3 Periode, juga meminta SK Menteri tersebut harus dicabut karena jika tidak ia akan membawa masalah ini ke ranah Mahkamah Internasional.

" Kehadiran saya disini ada dua hal yang menjadi tanggung jawab saya sebagai putra mahkota yakni yang pertama mendukung warga Amanuban untuk berjuang agar pemerintah mengembalikan semua hak tanah ulayat masyarakat adat dan yang kedua sebagai presiden World Organization Human Rights and Peace atau Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional,  saya akan mengawal kasus ini agar bebas dari mafia tanah dan saya harap tanah adat warga Amanuban segera dikembalikan. saya akan mengawal masalah ini sampai ke mahkamah internasional karena Amanuban sudah  didaftarkan sabagai anggota United Global Kingdom atau Persekutuan Kerajaan Dunia dan akan ikut pada simposium dunia di Jogja nanti, untuk itu saya minta pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah segera cabut SK Menteri tersebut," Pungkasnya.(*)

Editor : Sefnat Besie

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network