get app
inews
Aa Text
Read Next : Sudah Diaudit dan Bersih, Prof Apris Adu Jawab Isu Liar Soal IKOMA FKM Undana

Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas? Korban Penelantaran Gugat Keadilan ke Kejagung

Senin, 20 Oktober 2025 | 16:18 WIB
header img
Ferry Anggi Widodo, korban penelantaran keluarga, Senin (20/10/2025). Foto: Eman Suni

KUPANG,iNewsTTU.id-- Rasa kecewa dan kelelahan tampak dari nada suara Ferry Anggi Widodo, seorang ibu rumah tangga berusia 37 tahun asal Kota Kupang. Ia bukan hanya berjuang membesarkan dua anaknya seorang diri setelah ditelantarkan oleh suaminya, tetapi kini juga harus berjuang melawan rumitnya sistem hukum yang seolah tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Melalui surat resmi yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) di Jakarta, Ferry menyampaikan keberatan keras terhadap petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus penelantaran yang menjerat suaminya, Mokris Lay, seorang anggota DPRD Kota Kupang.

Kasus ini bermula dari laporan Ferry ke Polda Nusa Tenggara Timur pada 2 November 2023, yang teregistrasi dengan Nomor LP/B/374/XI/2023/SPKT/Polda NTT. Dalam laporan itu, ia menuduh suaminya telah menelantarkan dirinya dan kedua anak mereka secara ekonomi maupun psikologis.

Menurut Ferry, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTT telah menjalankan penyelidikan dengan memeriksa saksi-saksi, ahli hukum pidana, serta melakukan pemeriksaan psikologis terhadap dirinya dan kedua anaknya sebanyak dua kali. Berdasarkan hasil penyidikan tersebut, penyidik bahkan telah menetapkan Mokris Lay sebagai tersangka.

Namun, proses yang sudah diharap membawa keadilan itu kembali tersendat. Setelah berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan, JPU justru mengembalikan berkas dengan petunjuk P-19, meminta agar korban dan anak-anaknya menjalani pemeriksaan forensik psikiatrik (Visum Et Repertum Psikiatrikum) oleh dokter spesialis kejiwaan forensik.

Masalahnya, pemeriksaan itu disebut hanya dapat dilakukan di Bali, sementara Ferry dan anak-anaknya hidup pas-pasan tanpa penghasilan tetap.

“Saya dan anak-anak sudah tidak punya apa-apa. Untuk makan sehari-hari saja kami kesulitan. Bagaimana mungkin kami harus ke Bali untuk pemeriksaan itu?” keluh Ferry dalam surat pengaduannya.

Lebih jauh, Ferry merasa heran dengan petunjuk JPU yang juga meminta print out rekening pribadinya, hal yang menurutnya tidak ada kaitannya dengan kasus penelantaran yang dilakukan oleh suaminya.

“Apakah karena suami saya anggota DPRD, proses hukumnya jadi berbelit dan penuh syarat yang memberatkan korban?” tulisnya dengan nada getir.

Dalam surat keberatan yang ditembuskan ke berbagai lembaga tinggi negara, mulai dari Kejaksaan Agung RI, Komisi III DPR RI, Komnas HAM, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Ferry meminta agar Kejaksaan Agung mengevaluasi JPU yang menangani perkaranya. Ia juga memohon agar petunjuk P-19 dibatalkan, dan kasusnya segera dinyatakan P-21 (berkas lengkap) supaya bisa dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kupang untuk disidangkan.

“Sudah cukup penderitaan saya dan anak-anak. Kami hanya ingin keadilan,” tulisnya penuh harap.

Keadilan yang Berat Sebelah?

Kasus ini kembali membuka luka lama tentang ketimpangan hukum di Indonesia, di mana masyarakat kecil seringkali harus berjuang sendirian melawan sistem yang lambat, birokratis, dan kadang terasa tidak berperasaan.

Banyak pihak menilai, petunjuk JPU yang meminta korban melakukan pemeriksaan forensik di luar daerah bisa dianggap membebani dan tidak manusiawi, terlebih mengingat kondisi ekonomi korban.

“Kalau korban adalah pejabat, mungkin prosesnya sudah selesai sejak lama,” ujar seorang aktivis perempuan di Kupang yang enggan disebut namanya. “Tapi karena ini ibu rumah tangga biasa, kasusnya seperti dibuat rumit. Hukum kita masih terlalu elitis.”

Lewat pengaduan ini, Ferry Anggi Widodo berharap Kejaksaan Agung tidak menutup mata terhadap potensi diskriminasi dalam penegakan hukum. Ia menegaskan, pemeriksaan psikologis sudah dilakukan dua kali oleh psikolog profesional Christiani Natasya Miru, S.Psi., M.Psi., dan hasilnya seharusnya cukup untuk memperkuat pembuktian perkara.

Kini, dirinya menanti apakah Kejaksaan Agung akan berpihak padanya yang hanya rakyat kecil, atau kembali membiarkan kasus ini berlarut di meja birokrasi.

“Apakah hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas?”

Editor : Sefnat Besie

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut