Kisah Inspiratif Penjual Pangan Lokal Putalaka di Tengah Gempuran Olahan Modern

KEFAMENANU, iNewsTTU.id – Adriana Hoar Leki (55) duduk bersilah di balik terpal hijau sambil menabur tepung putak ke atas pelat besi berukuran 12x12 centimeter lalu dipanggang di atas tunggu berbahan kayu api.
Tak berselang 2 menit, kue putak diangkat dan siap dikonsumsi, bahkan sudah ditunggu oleh pembeli atau pelanggannya.
Lantaran hanya ia sendiri yang berjualan kue putak atau Putalaka di Pasar Maubesi, tak heran dagangannya laris manis diserbu pembeli.
Meskipun diolah secara tradisional, namun ia tetap bertahan di tengah gempuran olahan modern di sekitarnya. Kue Putak adalah jenis jajanan tradisional yang terbuat dari batang pohon gewang.
Adriana Hoar Leki, (55) Perempuan asal Dusun Metamanasik Desa Weseben, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka NTT Kelahiran 1970. di tanah kelahirannya, memang banyak pohon gewang yang tumbuh dengan sendirinya.
Setiap hari Rabu, Adriana memulai perjalanannya sejauh 71,7 km dari Malaka dengan waktu tempuh menggunakan bus selama 1 jam 52 menit. Ia tiba jam 1 siang di Pasar Maubesi, Kecamatan Insana Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT dan mulai berjualan hingga pukul 09.15 atau pukul 21.15 wita malam saat pasar mulai sepi.
Pasar Tradisonal di Maubesi ini, biasanya baru beroperasi untuk umum pada keesokan harinya atau tepatnya di Hari Kamis, namun sejak Rabu Sore, banyak pedagang sudah memadati pasar yang berjarak 17, 6 kilometer dengan waktu temput 25 menit dari ibu kota Kefamenanu.
Penganan putak bakarnya ia jual enam lempeng seharga Rp10.000. Khusus untuk putalaka mentah, ia jual satu ikat seharga Rp35.000 dengan berat sekitar 1,5 kilogram.
Putalaka mentah ini bisa juga diolah dengan cara lain yakni dicampur dan dipanaskan dengan sedikit air dan gula sebagai perasa dan dikonsumsi. Banyak masyarakat meyakini bisa menyembuhkan penyakit maag kronis.
Setiap kali datang dari Malaka, Adriana membawa bahan baku putalaka sebanyak 10-12 ikat, atau sekitar 15 hingga 18 kilogram.
Jika semua bahan baku seberat 18 kilogram itu berhasil terjual habis, Adriana Hoar Leki bisa membawa pulang uang hingga Rp750.000.
Ia mencontohkan, putalaka seberat 3 kilogram yang diolah menjadi putalaka bakar saja bisa laku terjual seharga Rp120.000. Angka ini menunjukkan potensi ekonomi yang luar biasa dari usaha sederhana ini.
Adriana mengaku, dari hasil jualan putalaka ini, Adriana bisa sekolahkan tiga orang anaknya hingga saat ini semuanya telah menyandang gelar sarjana.
"dari hasil jualan kue putalaka ini, anak saya tiga orang bisa kuliah dan sekarang sudah gelar sarjana semua, satunya sarjana peternakan, satunya sarjana biologi, dan sarjana pendidikan,"ungkapnya.
Namanya juga berbeda di setiap wilayah namun bahan dasarnya sama yakni dari pohon gewang. jikalau di Malaka disebut Aka Bilan, kalau di Kefamenanu, warga sebut Putalaka, sedangkan di Atambua disebut kue putak.
Proses pengolahan kue putak ini bervariasi, bisa ditaburi dengan parutan kelapa, gula, kacang. di pasar Maubesi, Adriana menjual kue putaknya seharga Rp10.000/enam lempeng.
Ia tak hanya berjualan di Malaka, tetapi juga mulai kembangkan sayapnya hingga kabupaten Timor Tengah Utara, ia setia menjajakan dagangannya di Pasar Maubesi setiap Rabu sore.
Adriana menjelaskan, bahan dasar putalaka berasal dari pohon gewang. Proses pengolahannya cukup panjang. Pohon ditebang, kulitnya dikupas, lalu bagian dalamnya dipotong kecil-kecil atau dicincang. Setelah itu, dicuci, kemudian dijemur hingga kering.
Bahan kering ini kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk (tradisionalnya disebut "mol") dan terakhir diayak untuk mendapatkan serat yang halus.
Serat inilah yang kemudian dicampur dengan parutan kelapa, sedikit gula, dan kacang hijau, lalu dibakar di atas tungku api sederhana berukuran 12x12 cm. Makanan ini mirip kerupuk namun dengan cita rasa khas yang berbeda.
Adriana bercerita, penganan sagu atau putak ini memiliki sejarah panjang di Malaka. Pada masa paceklik sekitar tahun 1965 hingga 1970, masyarakat Malaka seringkali bertahan hidup dengan mengonsumsi sagu ini. Hingga kini, putak telah menjadi makanan lokal yang sangat diminati.
Adriana mengaku sudah berjualan di pasar Malaka sejak empat tahun lalu, dan setahun terakhir ia melebarkan sayap ke Pasar Maubesi. Di Pasar Maubesi, ia sudah memiliki banyak pelanggan setia, tidak hanya warga lokal, tetapi juga pendatang.
Salah satunya adalah Sri Wahyuni atau Mbak Yun, seorang ibu asal Blora Provinsi Jawa Tengah yang sudah tujuh tahun menetap di Maubesi bersama suaminya. Mbak Yun selalu datang lebih awal untuk membeli jajanan ini demi putra bungsunya.
"Anak saya yang bungu kan lahir di Maubesi dia paling suka makanan putalaka ini, kisah Yuni saat ditemui di Pasar Maubesi,"rabu sore
Kisah Adriana Hoar Leki adalah cerminan kegigihan dan dedikasi seorang ibu. Jari-jemarinya yang lincah mengolah penganan lokal ini tak hanya menghasilkan nafkah, tetapi juga telah merawat dan membesarkan tiga buah hatinya hingga berhasil menyandang gelar sarjana.
Editor : Sefnat Besie