SOE, iNewsTTU.id- Setelah berdialog tanpa mendapat solusi dengan bupati TTS, Epy Tahun, warga Amanuban membubarkan diri dan melanjutkan perjuangan mereka ke kantor DPRD TTS dan diterima oleh Komisi II DPRD yang membidangi Kehutanan dan diterima oleh ketua Komisi II dan Wakil Ketua DPRD TTS beserta sebagian besar anggota komisi II DPRD TTS.
Sekretaris Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban, Pina Ope Nope, kepada iNews.id, Rabu (27/9/2023) menyampaikan maksud kedatangan mereka ke DPRD TTS untuk menguraikan tentang sejarah Amanuban sebagai kerajaan yang merdeka hingga tahun 1910 baru dikalahkan oleh Belanda dan meminta dukungan legislatif menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah pusat.
“Pemerintah memberi kesan bahwa kami orang Amanuban telah dijajah 350 tahun sehingga menggunakan peta Belanda sebagai dasar mencaplok tanah rakyat. Saya mengutip laporan gubernur Kupang tahun 1831-1832 Emanuel A. Francis yang menyebutkan demikian Amanuban kerajaan dengan wilayah yang luas yang mengobarkan perang melawan Kupang atau Belanda sejak lama.
Orang-orang disana dianggap paling berani di seluruh Timor. Mereka bahkan memiliki reputasi yang tak terkalahkan. Nah belanda yang adalah musuh Amanuban saja mengakui bahwa mereka tidak pernah mengalahkan Amanuban trus kita dijajah dari mananya? Harus kalah perang dan takluk dulu baru dijajah.
Kami mengakui bahwa pada tahun 1910 baru belanda berhasil menaklukan Amanuban tapi hak kepemilikan rakyat atas tanah tidak serta merta terhapus sebab Amanuban diakui oleh Belanda sebagai Zelfbestuur. Bahkan ahli hukum adat Van Holen Hofen sama sekali tidak menyinggung Amanuban sebagai entitas yang taat pada hukum Eropa tapi pada hukum adatnya sendiri.
Hanya menyebut Mollo dan kerajaan sekitarnya saja. Dan Amanuban beserta kerajaan-kerajaan di Timor baru bergabung dengan Republik pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949,” jelas Pina Nope.
“Lagi pula seluruh tanah adat Amanuban sudah dibagi habis sejak ratusan tahun lalu ke seluruh Temukung-temukung, meo-meo dan kolo manunya, terus bagaimana bisa kehutanan klaim lagi sebagai kehutanan punya tanah sedangkan peta tahun 1932 yang tadi juga diakui oleh bapak bupati itu hanya titik-titik hutan, kok sekarang jadi suatu kawasan hutan yang luas.
Justru kami beranggapan bahwa Pemerintah Indonesia menggunakan peta penjajah itu sebenarnya sedang mempertentangkan dirinya sendiri dengan Konstitusi Dasar Republik Indonesia UUD 1945 yang menyebut:“bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan," tambah Pina.
Masyarakat Adat Amanuban dalam dialog dengan Komisi II menyampaikan bahwa penetapan kawasan hutan melalui Undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang memberikan keluasan kepada kemntrian Kehutanan untuk menetapkan suatu wilayah yang bukan hutan menjadi kawasan hutan tertuang dalam pasal 4 ayat 2.
Ini juga kemudian terbukti dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.357/Menlhk/ Stjen/PLA.0/5/2016 tanggal 14 Mei 2016 tentang : Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan + 54.163 Ha, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas + 12.168 Ha dan Penujukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas + 11.811 Ha.
“Kata terakhir yang menyebutkan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan itu sangat mengganggu kami. Ini kami cerita pengalaman tahun 1991-1992 datang sekelompok orang yang menanam kebun kami dengan Mahoni dan Gamalin dengan mengatakan ini masuk kawasan hutan.
Kami bertanya sejak kapan karena ini tanah leluhur. malah mereka ambil senapan dan mau tembak ini bapak Tanono” ujar Emu Tse perwakilan dari Desa Nusa kecamatan Kuatnana, sambil menunjuk seorang warga.
Emu Tse lalu melanjutkan “kami perkara didesa sampai propinsi dan pak Piet Tallo yang waktu itu Wakil Gubernur atau Gubernur saya lupa datang bunuh sapi satu ekor dan nyatakan ini sudah jadi tanah rakyat. Ternyata apa? hari ini petugas Kehutanan datang lagi dan klaim lagi, oleh karena itu kami meminta DPRD TTS sebagai interprestasi masyarakat untuk mengusulkan SK Menteri yang menyusahkan rakyat ini dicabut," Tegasnya.
Pada saat bersamaan hadir Kepala UPTD PKH TTS, Frans A.B Fobia yang mengatakan “Dari sisi regulasi bahwa semuanya memang bermula dari peta hutan tahun 1932 lalu didukung oleh berbagai undang-undang dan pemerintah dalam hal ini kehutanan sudah bekerja sesuai aturan yang diamanatkan undang-undang.
Jadi kawasan hutan produksi itu adalah aset negara atau harta milik negara dan bisa juga kemudian diserahkan kembali ke rakyat dalam bentuk hutan rakyat. Bisa juga diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga untuk bisa mengolah hasil yang ada diatas tanah maupun yang ada dibawah tanahnya bagi kepentingan negara.
Sedangkan masyarakat yang hanya mau menggunakannya dalam periode tertentu, maka bisa dengan hak pakai 35 tahun dan bisa diperpanjang. Sebenarnya di seluruh TTS bukan hanya 45 Desa seperti yang bapa-bapa tahu tapi ada 115 Desa yang masuk kawasan hutan Laob Tunbes dan ini memang besar sekali," tambahnya.
Kris Koenunu, salah satu pejabat PKH Kehutanan menjelaskan “memang betul dalam peta Belanda itu hanya ada 15 titik hutan atau kelompok hutan yang kecil-kecil. Pada tahun 1983, untuk kepentingan peningkatan status dari Kepala Daerah Tingkat II TTS menjadi Daerah Otonom Kabupaten TTS, maka harus memenuhi syarat 30% kawasan hutan.
Maka Bupati saat itu pak Piet A. Tallo mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar 15 titik hutan yang terbentang dari Laob di Mollo Selatan ke wilayah Amanuban ini digabung-gabungkan dan konsekwensinya seluruh tanah-tanah masyarakat yang ada disekitar titik-titik hutan ini dimasukan sebagai kawasan hutan Laob Tumbesi," jelasnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi II DPRD TTS, Semuel D.Y Sanam menyampaikan apresiasi atas kedatangan warga Amanuban terkait isu hak masyarakat ini dan berjanji akan mencari jalan keluar atas masalah hutan adat tersebut.
" Kami sangat mengapresiasi kedatangan masyarakat adat Amanuban terkait kehutanan ini dan memang ini adalah isu yang sangat penting berkaitan dengan hak hidup rakyat. Kami ada di pihak rakyat untuk mempertahankan hak-haknya oleh karena itu kami juga mengundang PKH pak Fobia untuk kita bisa mencapai suatu jalan keluar yang baik bagi masyarakat” kata Ketua Komisi II DPRD TTS.
Hal ini juga disambut baik oleh Anggota komisi II lainnya Imanuell Ollin.
“Saya sudah banyak berkeliling seluruh Amanuban dan saya tahu bahwa di Amanuban tidak ada hutan dan kalau ada itu hanya sedikit sekali dan ini berbeda dengan di Mollo. Jadi jelas masyarakat Amanuban kaget dengan fakta bahwa tanah mereka sudah masuk kawasan hutan jadi kami mendukung hak-hak masyarakat Amanuban," ujarnya.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD TTS, Relygius Usfunan. “ini memang sudah kami pantau sejak lama dan harus ditanggapi secara serius dan kami seperti yang sudah-sudah tetap berdiri di samping rakyat untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah mereka sendiri untuk itu kami akan segera berkoordinasi dengan Kehutanan Propinsi dan Pusat," tambahnya.
Dari usulan ini, maka pihak PKH memberikan saran agar Pemerintah mengusulkan Review kepada pemerintah pusat sebab RTRW (Rencana Tata Ruang Rencana Tata Wilayah_red) sudah 14 tahun tidak di review dan mungkin pembebasan lahan bisa mencapai ribuan hektar walaupun tidak semuanya. Tapi biaya harus di tanggung oleh pemda TTS.
Menanggapi itu, seluruh Anggota Komisi II terutama David I. Boimau, langsung menyetujui dan berjanji memperjuangkan nasib hutan adat Amanuban.
“Saya disamping sebagai anggota Dewan saya juga orang Amanuban merasa bertanggung jawab siap berjuang untuk dapat anggaran tahun 2024 ini bisa dialokasikan guna mengakomodir aspirasi dari masyarakat Adat Amanuban. Ini 115 desa bukan sedikit. Ini memang meresahkan, dan ya kalau terpilih di DPRD propinsi kita juga akan menyuarakannya diatas lagi. Bila perlu kami mohon Bapak Ketua agar bisa DPRD TTS bersurat sesegera mungkin ke Kementrian untuk menanggapi persoalan ini, Ini sangat urgent," paparnya.
“Kami berharap Legislatif serius sesuai janji mereka sebab ini sangat meresahkan masyarakat di Empat Kecamatan” kata Obaja Soinbala salah satu tokoh Masyarakat Adat Amanuban.
Perkataan Akris Bussi ini diamini oleh Alfred Sayuna warga Desa Oenai, dan Roni Soinbala dari Desa Napi Kecamatan Kie yang menimpali agar SK Menteri tersebut segera dicabut.
“Kami minta SK ini dicabut,” kata mereka bertiga serentak.(*)
Editor : Sefnat Besie
Artikel Terkait