JOGJAKARTA, iNewsTTU.id--Wilayah Indonesia pada tahun 1942 dikuasai oleh Jepang yang menjadi pemenang di awal perang dunia ke dua.
Pada masa itu lahir lah Romusha atau kerja paksa yang digagas oleh tentara Jepang, pada saat bersamaan lahir pula Pembela Tanah Air (PETA).
PETA merupakan pendidikan semi militer untuk para pemuda Indonesia. PETA juga menjadi pasukan bersenjata yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang 1942-1945, seorang pangeran Jogjakarta, Ki Ageng Suryomentaram telah mengambil peran penting yang kelak menjadi tonggak lahirnya tentara republik ini.
Ki Ageng Suryomentaram merupakan salah seorang tokoh pejuang asal Jogjakarta. yang namanya nyaris tidak banyak disebut dalam perlintasan sejarah besar kemerdekaan Indonesia.
Usulan Ki Ageng Suryomentaram kepada penguasa Jepang, yakni melalui Asano (anggota Dinas Rahasia Jepang) agar pemuda Indonesia diberi pelatihan militer, telah menjadi cikal bakal berdirinya pasukan PETA pada tahun 1943.
"Mengusulkan agar dia dan teman-temannya diberi pelatihan militer yang memadai, sebagai bekal untuk berperang bersama Jepang," tulis Marcel Bonneff dalam buku Matahari dari Mataram, Menyelamai Spritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram.
Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya mengusulkan tentang pelatihan militer. Ia juga merumuskan prinsip ilmu perang yang kemudian diberinya nama Jimat Perang. Secara meyakinkan ia menegaskan Jimat Perang mampu mempertebal keberanian pasukan, di mana tentara tak lagi gentar menghadapi kematian di dalam pertempuran.
Pada tahun 1943, pemerintah Jepang mengundang Ki Ageng Suryomentaram ke Jakarta, untuk berbicara di radio. Ia juga diberi kewenangan menyelenggarakan pertemuan sekaligus menyebarkan gagasannya.
Ki Ageng Suryomentaram memanfaatkan kesempatan itu untuk menemui Empat Serangkai, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantoro.
"KAS (Ki Ageng Suryomentaram) menganjurkan Soekarno untuk mengadopsi gagasan Jimat Perangnya itu, dan dalam berbagai kesempatan mereka (para pemimpin nasionalis itu) bersedia mempopulerkannya," kata Marcel Bonneff.
Pendapat Ki Ageng Suryomentaram didengar para tokoh nasionalis, terutama Ki Hajar Dewantoro sudah lama mengenal sosok sekaligus sepak terjangnya.
Ki Ageng Suryomentaram merupakan anak ke-55 dari 79 anak Sultan Hamengkubuwono VII dengan istri B.R.A Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI.
Ki Ageng Suryomentaram lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Jogjakarta, dengan nama Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Sebagai anak raja, ia tumbuh di lingkungan keraton yang penuh limpahan kemakmuran dan kehormatan.
Singkat cerita, Saat Ki Ageng Suryomentaram menyampaikan usulan perlu adanya pelatihan militer pada tahun 1943, Gubernur Militer Jepang untuk Jogjakarta, Kolonel Yamanuchi tidak langsung menyetujui.
Yamanuchi belum yakin rakyat Indonesia mampu membentuk kesatuan militer. Berkat bantuan Asano (anggota Dinas Rahasia Jepang) yang menyarankan Ki Ageng Suryomentaram membuat permohonan resmi kepada Kaisar Jepang, usulan itu akhirnya disetujui.
Permohonan resmi atau petisi Ki Ageng Suryomentaram bersama delapan temannya, yang kemudian disebut Manggala Sembilan itu, ditulis di atas kertas dan diberi tanda tangan dengan darah masing-masing.
Ki Ageng Suryomentaram kemudian bergabung sebagai tenaga sukarela. Ia meninggalkan rumah beserta sawahnya di Bringin, dan kembali ke Jogjakarta.
"Namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA," kata Marcel Bonneff yang pernah menjadi dosen bahasa Perancis di UGM (1966-1973).
Berbagai sumber sejarah menyebut, Ki Ageng Suryomentaram terlibat aktif dalam pertempuran melawan kolonial Belanda di dekat Jogjakarta, selama periode 1947-1949. Ki Ageng Suryomentaram wafat pada usia 70 tahun, di mana Presiden Soekarno atau Bung Karno melalui sebuah telegram, secara khusus mengirim ucapan bela sungkawa.
Editor : Sefnat Besie